Oh, betapa pedihnya hati ini, saudara-saudara! Malam itu di Suita City Stadium, gawang Timnas Indonesia, lambang kebanggaan bangsa, berubah menjadi Wi-Fi gratisan yang tak punya kata sandi.
Membiarkan setiap bola Jepang tersambung dengan mulus, tanpa hambatan, hingga menghasilkan skor 6-0 bagai pisau menikam jantung hati rakyat Indonesia.
Enam gol, enam sambungan tanpa izin, enam luka yang membuat Garuda menjerit dalam diam di lapangan yang seolah telah dikutuk.
Bayangkan, gawang kita, yang seharusnya menjadi benteng kokoh, malah seperti hotspot terbuka di kafe pinggir jalan.
Emil Audero, penjaga gawang pemberani, berdiri dengan gagah, tapi apa daya? Bola-bola Jepang meluncur bak sinyal 5G, cepat, tanpa buffering, langsung "connect" ke jala gawang kita.
Tidak ada firewall, tidak ada kata sandi, hanya keterbukaan yang tragis! Setiap tendangan lawan, setiap serangan mereka, terasa seperti notifikasi masuk "Gol Jepang telah bergabung ke jaringan Gawang Indonesia."
Lapangan Osaka adalah jurang kehancuran. Seperti server yang down di saat genting, pertahanan kita kewalahan, operan kita terputus, dan serangan kita bagai sinyal lelet yang tak pernah sampai.
Kevin Diks, OleRomeny, Joey Pelupessy, mereka berjuang, berlari dengan napas tersengal, mencoba mengenkripsi harapan.
Tapi Jepang, dengan presisi bak hacker kelas dunia, membobol sistem kita satu per satu. Enam kali gawang kita di-hack, enam kali hati kita diremukkan, enam kali kita menangis dalam doa yang tak terucap.
Di tribun, suporter Indonesia memandang dengan mata berkaca-kaca, tangan memegang dada, seolah mencoba menahan sinyal rasa sakit yang terus menerus masuk.
Di depan televisi, jutaan rakyat Indonesia menjerit, "Tutup WiFi-nya! Ganti kata sandinya!" Tapi, oh, terlambat sudah.