Mohon tunggu...
ADI PUTRA (Adhyp Glank)
ADI PUTRA (Adhyp Glank) Mohon Tunggu... Saling follow itu membahagiakan_tertarik Universalitas, Inklusivitas dan Humaniora, _Menggali dan mengekplorasi Nilai-nilai Pancasila

-Direktur Forum Reproduksi Gagasan Nasional, -Kaum Muda Syarikat Islam, - Analis Forum Kajian Otonomi Daerah (FKOD), - Pemuda dan Masyarakat Ideologis Pancasila (PMIP), -Penggemar Seni Budaya, Pemikir dan Penulis Merdeka, Pembelajar Falsafah Pancasila

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Missionaris dan Dekolonisasi Pikiran

28 September 2025   20:44 Diperbarui: 28 September 2025   20:44 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dekolonisasi dan Similaris Pemikiran, sumber : Adhyp Glank

Mao Zedong, meskipun dikenal sebagai pemimpin revolusi komunis, juga tidak lepas dari pengaruh Barat, khususnya dalam hal strategi politik dan organisasi massa. Mao mengadopsi dan menyesuaikan teori Marxisme-Leninisme yang berasal dari Eropa, untuk melegitimasi perjuangan kelas dan perubahan sosial di Cina (Meisner, 1999).

Keluarga Soong, melalui aktivitas ekonomi, pendidikan, dan jaringan internasional, menjadi contoh dari elite Cina yang telah terwesternisasi (Yen, 2011). Hubungan pernikahan antara Sun Yat-Sen dan Ciang Kai-Shek dengan keluarga Soong tidak hanya memperkuat basis finansial dan politik, tetapi juga memperdalam penetrasi nilai-nilai dan praktik Barat dalam kehidupan elite Cina.

Dukungan keuangan dan logistik dari keluarga Soong memungkinkan berlangsungnya revolusi Xinhai, yang menggulingkan Dinasti Qing dan membuka jalan bagi pembentukan Republik Cina (Fenby, 2008). Namun, keberhasilan ini juga mempercepat proses westernisasi di kalangan elite, yang pada akhirnya menciptakan jurang antara elite dan masyarakat akar rumput.

Revolusi Xinhai pada tahun 1911 merupakan titik balik dalam sejarah Cina, menandai berakhirnya kekuasaan dinasti dan pembentukan republik yang berbasis pada nilai-nilai modernitas (Spence, 1999). Meskipun dipimpin oleh tokoh-tokoh dengan latar belakang pendidikan Barat, revolusi ini menghadapi tantangan besar dalam mengintegrasikan nilai-nilai baru ke dalam masyarakat yang masih sangat tradisional.

Keruntuhan kerajaan Cina tidak hanya berarti perubahan struktur politik, tetapi juga krisis identitas nasional. Ketiadaan otoritas tunggal yang dapat menyatukan bangsa menyebabkan munculnya berbagai faksi yang saling bersaing, baik yang pro-Barat maupun yang anti-Barat (Esherick, 2000). Dalam konteks inilah, perang saudara antara nasionalis dan komunis menjadi tak terelakkan.

Perang saudara antara Kuomintang (nasionalis) dan Partai Komunis Cina (PKC) tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ideologi Barat. Kuomintang mengadopsi model pemerintahan republik dan nasionalisme sekuler, sedangkan PKC mengadopsi Marxisme-Leninisme sebagai dasar perjuangannya (Meisner, 1999). Kedua kubu sama-sama mengklaim sebagai pelanjut cita-cita revolusi, namun berbeda dalam interpretasi dan strategi.

Konflik ini tidak saja bersifat militer, tetapi juga ideologis---mempertaruhkan masa depan bangsa antara model Barat dan adaptasi lokal. Proses ini menimbulkan luka mendalam di masyarakat, yang hingga kini masih mempengaruhi struktur sosial dan politik Cina modern (Spence, 1999).

Selain pada tataran ideologi, pengaruh Barat juga tampak dalam sistem administrasi dan kebijakan publik di Cina. Sejak awal abad ke-20, model pemerintahan, sistem hukum, dan pendidikan diadopsi dari Barat, dengan harapan dapat mempercepat modernisasi dan pembangunan nasional (Hayhoe, 1996). Namun, adopsi ini sering kali menimbulkan konflik dengan tradisi lokal, sehingga memunculkan resistensi di kalangan masyarakat.

Masuknya kapitalisme Barat ke Cina sejak abad ke-19 telah mengubah struktur ekonomi dan relasi sosial masyarakat. Melalui perjanjian tidak adil dan penguasaan sektor-sektor vital seperti perbankan, percetakan, dan perdagangan, kekuatan Barat berhasil mengendalikan perekonomian Cina (Fairbank & Goldman, 2006). Keluarga Soong, sebagai perantara antara Barat dan elite Cina, berperan besar dalam proses ini (Yen, 2011).

Dominasi kapitalisme Barat tidak hanya menciptakan lapisan elite baru yang terwesternisasi, tetapi juga memperlebar ketimpangan sosial antara kota dan desa, antara elite dan rakyat jelata (Esherick, 2000). Fenomena ini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya pemberontakan dan keresahan sosial yang melanda Cina pada awal abad ke-20.

Selain melalui jalur politik dan pendidikan, misionaris Barat juga terlibat dalam transformasi ekonomi Cina. Mereka mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lembaga keuangan yang memperkenalkan sistem ekonomi modern (Bays, 2012). Aktivitas ini tidak hanya meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, tetapi juga memperkuat penetrasi nilai-nilai kapitalisme dan individualisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun