”Kenapa aku selalu merasa nggak cukup, ya?"
Kalimat ini mungkin terdengar sepele, tapi nyatanya, banyak anak muda yang merasa suara itu terus muncul hampir setiap hari di kepala mereka sendiri. Di balik senyuman di media sosial, di balik prestasi yang terlihat membanggakan, serta kehidupan yang tampak “baik-baik saja”, banyak dari kita sebenarnya sedang bergulat dengan tekanan dalam diam, merasa tertinggal, takut gagal, takut salah, dan terus mempertanyakan diri sendiri. Hidup di era digital membuat kita nyaris tak pernah lepas dari layar. Setiap hari, kita disuguhi notifikasi tanpa henti, ekspektasi dari berbagai arah, pencapaian orang lain yang terlihat mulus, serta standar hidup yang terasa makin tinggi. Perlahan tapi pasti, semua itu menumpuk di kepala dan hati kita. Tanpa sadar, kita jadi mudah membandingkan diri, tenggelam dalam overthinking, dan mulai kehilangan arah. Kesehatan mental pun ikut terkikis pelan-pelan.
Melalui artikel ini, mari kita sama-sama melihat lebih dekat kenyataan yang sering kita abaikan: realita kesehatan mental generasi muda di zaman digital. Bukan untuk menghakimi, bukan juga untuk menggurui, tapi untuk memahami. Untuk berani jujur bahwa mungkin, banyak dari kita sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Dan itu hal yang wajar.yang terpenting kita mulai peduli minimal pada diri kita sendiri.
Di era digital saat ini, teknologi dan media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi muda. Dengan kemudahan akses informasi dan konektivitas tanpa batas, anak muda kini hidup dalam dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul tantangan baru yang memengaruhi kesehatan mental mereka. Menurut survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2022, sekitar 15,5 juta remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Ini berarti satu dari tiga remaja berjuang dengan kecemasan, depresi, atau gangguan perilaku lainnya. Banyak dari mereka tidak mendapatkan dukungan atau layanan kesehatan mental yang memadai.
Salah satu fenomena yang makin marak di kalangan Gen Z dan milenial muda adalah overthinking. Perasaan terus-menerus khawatir, menganalisis sesuatu secara berlebihan, dan takut membuat kesalahan sering kali muncul sebagai respons terhadap tekanan hidup yang tinggi. Media sosial memperburuk kondisi ini dengan budaya perbandingan yang terus-menerus terjadi di linimasa.
Menurut Dr. Andri, SpKJ (Psikiater dan Kepala Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera), “Overthinking merupakan bentuk gangguan kecemasan yang bisa muncul dari ekspektasi yang tidak realistis, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan. Apalagi di era media sosial, standar hidup orang lain yang tampak sempurna bisa membuat seseorang merasa kurang, padahal belum tentu sesuai kenyataan." Sayangnya, edukasi tentang kesehatan mental masih minim, dan stigma masih begitu kuat. Banyak anak muda merasa malu atau takut dianggap “lemah” jika mereka mengaku sedang tidak baik-baik saja. Akibatnya, masalah atau tekanan yang mereka hadapi sering kali tidak tertangani dengan baik.
Faktor Penyebab Meningkatnya Overthinking
1. Media Sosial dan Budaya Perbandingan
Hidup orang lain yang tampak sempurna di media sosial sering kali membuat kita merasa tertinggal. Tanpa sadar, kita membandingkan pencapaian, gaya hidup, hingga penampilan dan akhirnya mempertanyakan nilai diri sendiri.
2. FOMO dan Tekanan Pencitraan
Rasa takut ketinggalan tren atau nggak dianggap eksis membuat banyak anak muda merasa harus selalu tampil sempurna. Tekanan ini menumbuhkan kecemasan dan membuat pikiran terus-menerus bekerja, bahkan untuk hal-hal kecil.
3. Tekanan Akademik dan Karir
Tuntutan untuk berprestasi, memenuhi harapan orang tua, hingga bersaing di dunia kerja membuat kita terus merasa harus “berlari”. Tidak boleh gagal, tidak boleh lambat. Tekanan seperti ini mudah memicu stres dan overthinking.
4. Minimnya Edukasi dan Masih Kuatnya Stigma
Banyak yang belum menyadari bahwa overthinking bisa jadi gejala gangguan mental yang butuh penanganan. Sayangnya, stigma membuat bantuan profesional masih dianggap tabu atau hanya untuk “orang gila”.
5. Kurangnya Ruang Aman untuk Bercerita
Tidak semua orang punya tempat yang aman untuk berbagi. Budaya “harus kuat” membuat banyak dari kita memilih diam dan menanggung sendiri, hingga akhirnya pikiran terasa penuh dan melelahkan.
Dampak Overthinking pada Kesehatan Mental
Overthinking bukan sekadar kebiasaan berpikir terlalu banyak. Jika dibiarkan terus-menerus, ia bisa menjadi beban mental yang mengganggu keseimbangan emosi dan perlahan menurunkan kualitas hidup. Tanpa disadari, overthinking mengikis ketenangan, merusak fokus, dan membuat hari-hari terasa jauh lebih berat dari seharusnya. Berikut beberapa dampak yang umum dialami banyak orang saat overthinking menjadi bagian dari keseharian:
1. Gangguan Tidur
Banyak orang yang overthinking mengalami insomnia, sering terbangun di malam hari, atau bahkan mimpi buruk.
2. Kecemasan Berlebih (Anxiety)
Overthinking sering memicu rasa takut berlebihan atas sesuatu yang belum tentu terjadi Seperti kecemasan umum, fobia, Generalized Anxiety Disorder (GAD), Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), hingga Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
3. Burnout dan Kelelahan Mental
Terlalu sering menimbang-nimbang sesuatu membuat otak lelah. Sehingga kehilangan semangat, motivasi, dan merasa kosong meskipun sedang menjalani aktivitas seperti biasa.
4. Depresi
Dalam kasus tertentu, overthinking bisa berkembang menjadi depresi.
5. Penurunan Produktivitas
Sulit fokus, mudah terdistraksi, dan selalu merasa ragu membuat banyak waktu terbuang hanya untuk memikirkan, bukan bertindak.
6. Gangguan Hubungan Sosial
Overthinking bisa membuat seseorang terlalu sensitif, takut menyinggung, atau merasa tidak diterima. Hal ini bisa membuat kita menjauh dari orang lain, sulit percaya, bahkan menutup diri.
7. Masalah Fisik
Kesehatan mental yang terganggu bisa berdampak pada fisik seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, nyeri otot, hingga sistem imun yang melemah
8. Pengambilan Keputusan yang Buruk
Orang yang overthinking sering kali terlalu lama mempertimbangkan pilihan hingga akhirnya tidak bisa mengambil keputusan sama sekali.
9. Perasaan Terjebak atau Tidak Berkembang
Karena terlalu banyak pertimbangan, akhirnya tidak berani mencoba hal baru. Dan membuat hidup terasa tidak berkembang.
Lalu, Gimana Cara Mengatasi Overthinking?
Overthinking mungkin terasa wajar, apalagi di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan ini. Namun, jika dibiarkan, overthingking bisa perlahan menggerus kesehatan mental kita. Kita memang tidak bisa menghentikan overthinking secara instan, tapi kita bisa mulai mengelola dan menguranginya sedikit demi sedikit. Dengan langkah-langkah yang pasti dan konsisten, pikiran kita bisa jadi lebih tenang dan hidup pun terasa lebih ringan. Berikut beberapa cara yang bisa dicoba:
1. Sadari Pola Pikir Sendiri
Menyadari kapan kamu mulai overthinking. Apakah saat sendirian? Saat lihat media sosial? Ketika dapat tugas baru? Dengan mengenali pemicunya, jadi bisa lebih waspada dan mengelolanya sejak awal.
2. Latih Mindfulness atau Kesadaran Penuh
Luangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk berdiam sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan fokus pada apa yang kamu rasakan saat itu dapat menenangkan pikiran yang berputar-putar.
3. Tulis Pikiranmu
Menuliskan isi kepala di buku diary bisa membantu melegakan isi kepala. Ini juga bisa jadi cara untuk melihat pola overthinking dari waktu ke waktu.
4. Batasi Penggunaan Media Sosial
Jika scrolling medsos membuat tambah kamuoverthinking, atur waktu penggunaannya, dengan puasa medsos beberapa jam sehari atau unfollow akun-akun yang membuat merasa "tidak cukup".
5. Cerita Dengan Orang Terpercaya
Bercerita ke teman, kakak, keluarga, atau bahkan tenaga profesional bisa sangat membantu meringankan pikiran.
6. Terima Hal Di Luar Kontrol
Banyak hal dalam hidup yang di luar kendali kita dengan belajar melepaskan dan menerima proses adalah salah satu cara untuk meredakan beban pikiran.
7. Berani Cari Bantuan Profesional
Kalau overthinking sudah mulai mengganggu aktivitas, tidur, atau membuat merasa lelah terus-menerus konsultasi ke psikolog sebagai bentuk peduli pada diri sendiri.