Mohon tunggu...
ADINDA ADZIMA UYUN
ADINDA ADZIMA UYUN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Everyone has their uniqueness, so do you

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kampanye RUU T-PKS Semakin Masif, RUU T-PKS Belum Disahkan

30 Desember 2021   08:49 Diperbarui: 30 Desember 2021   08:49 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewasa ini, kasus kekerasan seksual semakin ramai bermunculan di dinding sosial media. Korban kekerasan seksual banyak yang pada akhirnya menceritakan kejadian kekerasan seksual yang dialaminya di media sosial karena tidak ada tindakan tanggap dari pihak yang berwenang. 

Kasus kekerasan seksual banyak yang tidak ditangani dan cenderung disepelekan. Bahkan, meskipun kasus kekerasan seksual telah diekspos ke media sosial, belum ada pergerakan yang signifikan untuk melindungi korban kekerasan seksual. 

Untuk melindungi korban kekerasan seksual dan menangani kasus kekerasan seksual, perlu adanya komitmen yang kuat dari para stakeholder.

Kekerasan seksual telah menjadi permasalahan yang sudah ada sejak dulu. Namun, penyelesaian dari kasus kekerasan seksual ini tidak memenuhi ekspektasi. Kekerasan seksual sering kali disepelekan dan dilupakan. 

Dalam kondisi seperti ini, korban kekerasan seksual akan merasa trauma dan takut. Korban kekerasan seksual mendapatkan stigma seperti tidak bisa menjaga diri, bukan perempuan baik-baik, pakaiannya mengundang, dan lain sebagainya. 

Konsep victim blaming atau pelimpahan kesalahan pada korban dapat membuat sangat terpuruk hingga akhirnya kasus kekerasan seksual dibiarkan terbengkalai hingga dilupakan. 

Sering kali, ketika kasus kekerasan seksual berusaha disuarakan, solusi yang diberikan adalah menikahkan korban kekerasan seksual dengan pelakunya. Trauma terus dirasakan korban namun penyelesaian kasus ini dari tahun ke tahun belum mengalami kemajuan.

RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) menjadi salah satu proposal yang diajukan untuk menjadi solusi dari permasalahan kekerasan seksual ini. 

Sejak tahun 2016, RUU PKS telah diajukan oleh Komnas Perempuan ke DPR untuk segera disahkan agar kekerasan seksual dapat diatasi dengan baik oleh negara dan korban kekerasan seksual dapat ditangani dengan baik. 

Namun sayangnya, draft RUU PKS yang diajukan oleh Komnas Perempuan selalu diulur dan ditolak sehingga tidak pernah sampai masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) atau pun sidang paripurna. 

Komnas Perempuan bersama dengan organisasi akar rumput dan lembaga swadaya masyarakat terus mengkampanyekan RUU PKS agar segera disahkan.

Organisasi, LSM, atau lembaga bantuan hukum yang berasaskan kemanusiaan dan kesetaraan gender terus mengkampanyekan RUU PKS agar disahkan oleh DPR. 

Kampanye yang dilakukan tidak hanya demonstrasi di ruang publik, melainkan berbondong-bondong ramai di sosial media. Sosial media menjadi salah satu alat untuk meningkatkan kesadaran dan mengedukasi banyak orang terkait urgensi RUU PKS.

Seiring berjalannya waktu, pandemic Covid-19 melanda seluruh dunia sehingga banyak kegiatan yang tidak bisa dilakukan secara langsung bertatap muka sehingga sosial media menjadi wadah dalam berkomunikasi satu sama lain. 

Organisasi yang mendukung RUU PKS melanjutkan kampanyenya di berbagai sosial media untuk merangkul korban, mengedukasi khalayak, serta meraih dukungan terhadap pengesahan RUU PKS. RUU PKS pada akhirnya sempat masuk ke dalam Prolegnas 2020. Namun, RUU PKS ditarik kembali dari Prolegnas 2020.

Kampanye terkait pengesahan RUU PKS terus dilanjutkan melalui sosial media. Pembentukan diskusi-diskusi terkait pengesahan RUU PKS terus dilakukan agar RUU PKS dapat disahkan. RUU PKS akhirnya masuk kembali dalam Prolegnas 2021. 

Namun, hingga saat ini, pengesahan RUU PKS masih belum dilakukan padahal kampanye atau pun kasus kekerasan seksual terus disebarkan di sosial media sebagai bentuk bukti bagaimana urgensi dari RUU PKS. 

Pada tahun 2021, RUU PKS sempat didiskusikan dalam sidang DPR dan direvisi serta diganti namamya menjadi RUU TPKS atau Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Urgensi RUU TPKS

Kasus kekerasan seksual menjadi kasus yang akhir-akhir ini semakin sering ditemui terlebih di sosial media. Komnas Perempuan menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya. 

Pada tahun 2020, sebanyak 299.911 kasus terdata oleh Komnas Perempuan. Sayangnya, tidak semua kasus kekerasan seksual terdata oleh Komnas Perempuan. 

Sosial media menjadi tempat penyebaran yang cepat terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi kepada korban. Karena tidak adanya kapabilitas dari pemegang kekuasaan atau pihak-pihak berwenang, korban banyak menyampaikan permasalahannya di sosial media. 

Melihat banyaknya kasus yang tersebar, pemerintah belum kunjung juga untuk mengesahkan RUU TPKS yang mampu melindungi korban kekerasan seksual. (Patros dan Anggelia 2021)

Korban kekerasan seksual banyak yang tidak melaporkan kasusnya karena sering mendapat stigma. Korban kekerasan seksual sering disalahkan dan dituduh menjadi penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual terhadapnya. 

Korban kekerasan seksual sering mengalami perilaku tidak menyenangkan dari orang-orang yang mereka percaya setelah mengaku bahwa dirinya mengalami kekerasan seksual. 

Tidak hanya itu, korban kekerasan seksual yang tidak dapat ditangani dengan baik akan menyebabkan munculnya Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD di mana kondisi trauma yang muncul jika seseorang mengalami kejadian yang mengerikan bagi jiwanya. Maka dari itu, RUU TPKS dihadirkan sebagai perlindungan dan pemberi fasilitas bantuan kejiwaan bagi korban kekerasan seksual. (Efendi, dkk 2021)

Kekerasan seksual tidak hanya pelecehan seksual secara fisik yang dialami korban, melainkan dalam RUU PKS, Komnas Perempuan mengkategorikan 15 bentuk kekerasan seksual, di antaranya (Sabrina 2019):

Perkosaan; pemaksaan kehamilan; intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan; pemaksaan aborsi; pelecehan seksual; pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; eksploitasi seksual; penyiksaan seksual; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; prostitusi paksa; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; perbudakan seksual; kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, dan; pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung.

Kekerasan seksual mencakup banyak hal dan tidak hanya terjadi di ruang publik. Korban kekerasan seksual dapat mengalami kekerasan seksual di mana saja dan oleh siapa saja. Hal ini lah yang menyebabkan sulitnya memberantas kekerasan seksual tanpa adanya undang-undang ini. 

Pihak legislative telah mendiskusikan terkait RUU PKS pada tahun 2021. Meskipun begitu, bentuk kekerasan seksual yang tadinya berjumlah 15 dalam beberapa kali DPR mendiskusikan isi RUU PKS, muncullah revisi dengan hasil RUU PKS diubah menjadi RUU TPKS dan bentuk kekerasan seksual dipangkas menjadi lima jenis.

Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas status maupun usia ataupun jenis kelamin. Pelaku kekerasan seksual bisa berasal dari pihak keluarga, orang terdekat, dan siapapun. Kekerasan seksual juga dapat terjadi di mana saja. 

Kekerasan seksual dapat terjadi di ruang publik, bahkan ruang privat seperti rumah, atau tempat di mana kita sekolah atau bekerja. 

Bagaimana kekerasan seksual sangat tidak terkendali dan penegak hukum serta pemerintah tidak memberikan gerakan yang progresif untuk membantu korban kekerasan seksual.

Analisa Kampanye Sahkan RUU TPKS di Sosial Media

Sosial media menjadi ranah yang mampu diakses banyak orang dari berbagai kalangan.  Hal ini juga lah yang dimanfaatkan oleh organisasi penegak kemanusiaan atau kesetaraan gender untuk mendukung aksi pengesahan kekerasan seksual. 

Kekerasan seksual yang telah merajalela dan semakin genting untuk diselesaikan, membutuhkan penyebaran informasi yang lebih masif. 

Sosial media memberikan wadah kepada organisasi, Komnas Perempuan, dan individu untuk bekerja sama dalam mengkampanyekan pengesahan RUU TPKS.

Selama 5 tahun ke belakang, kampanye RUU PKS terus digencarkan. Pada tahun 2021, RUU PKS yang telah berganti menjadi RUU TPKS masuk menjadi RUU usulan DPR pada rapat pleno Baleg pada 8 Desember 2021. Hal ini menjadi harapan baru pendukung RUU TPKS agar segera disahkan sehingga mampu melindungi korban. Rencana yang diberikan oleh DPR untuk tahap selanjutnya adalah sidang untuk lolos ke rapat paripurna DPR pada 15 Desember 2021. Namun, sekali lagi, pengesahan RUU TPKS diundur kembali.

Di sosial media, organisasi akar rumput seperti Lingkar Studi Feminis, Perempuan Mahardhika, Jakarta Feminist, dan lain-lain yang bergerak untuk kesetaraan gender memiliki akun sosial media mereka sendiri. 

Di samping itu, setiap organisasi memiliki postingan edukasi atau informatif terkait perkembangan atau pun edukasi terkait RUU TPKS. 

Hal ini dilakukan melihat banyaknya orang yang menggunakan sosial media akan mempermudah penyebaran dukungan terkait pengesahan RUU TPKS. Antar organisasi juga sering kali melakukan kerja sama membagikan postingan organisasi lain atau bekerja sama dalam membuat program kerja digital di sosial media terkait RUU TPKS.

Pro kontra terhadap RUU TPKS terus bertebaran di sosial media sehingga memperhambat dukungan terhadap RUU TPKS di sosial media. 

Melihat kejadian tersebut, sosial media Instagram akan mengklarifikasi apa yang tersebar dan makna sebenarnya atau kejadian sebenarnya yang menyebabkan kontra yang dibuat untuk menolak RUU TPKS dapat dibantah dan dibenarkan. Sejak awal RUU ini diajukan, yang dilakukan oposisi selalu dengan konten yang sama dalam menolak RUU TPKS.

Melihat masifnya pergerakan penolak RUU TPKS, organisasi serta Komnas Perempuan membuat hashtag dan twibbon yang dapat dishare di sosial media secara individu. Individu juga memiliki peran mengenai hal tersebut. Banyak individu yang memberikan konten edukasi di sosial medianya sebagai bentuk dukungan terhadap RUU TPKS. 

Meskipun bisa dikatakan bahwa pemerintah belum memberikan pengesahan terkait RUU TPKS, gerakan yang terus menyebar secara perlahan akibat kampanye di sosial media ini menyebabkan satu persatu korban kekerasan seksual mulai berani untuk mengungkapkan kebenaran atau pun kejadian demi mendapat keadilan dari pemerintah.

Maraknya kasus kekerasan seksual di sosial media salah satunya dikarenakan masifnya kampanye pengesahan RUU TPKS dan dukungan terhadap RUU TPKS di sosial media. 

Korban yang awalnya tidak berani untuk melapor atau menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya, sekarang mampu untuk menyebarkan identitas pelaku yang melakukan kekerasan seksual dan akan dibantu oleh warga dunia maya yang mendukung pengesahan RUU TPKS. 

Selain itu, pihak-pihak berwenang yang menyepelekan korban kekerasan seksual mulai banyak terkuak dan terekspos di sosial media. Ketidakadilan yang diterima oleh korban kekerasan seksual mulai terungkap karena banyak yang berani menyebarkan di sosial media mengingat mudahnya sesuatu untuk tersebar di sosial media.

Cara penyelesaian kekerasan seksual semula diselesaikan dengan dibiarkan, diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau mediasi, bahkan dinikahkan dengan pelaku kekerasan seksual saat ini sudah tidak dinormalisasi lagi. Perilaku orang-orang yang memiliki jabatan yang tinggi seperti dosen bagi mahasiswanya mudah terekspos jika melakukan kekerasan seksual terhadap mahasiswa yang diajar. Banyak kekerasan seksual yang terus dikawal hingga pelakunya mendapat hukum sesuai dengan apa yang mereka lakukan.

Meskipun pelaku sudah dihukum setimpal denga napa yang mereka lakukan sesuai hukum yang berlaku, korban kekerasan seksual masih belum dapat terobati rasa traumanya. Tidak ada pendampingan psikolog yang dibtuhkan korban kekerasan seksual dan difasilitasi oleh negara. Negara masih belum berorientasi kepada korban jika RUU TPKS belum disahkan.

Hingga saat ini, organisasi, individu, dan Komnas Perempuan terus melakukan kampanyenya, merangkul masyarakat untuk mengerti dan paham terkait pentingnya RUU TPKS untuk disahkan demi seluruh masyarakat Indonesia. Kekerasan dapat dialami oleh siapapun, kapanpun, dan di manapun.

Kesimpulan

Kekerasan seksual yang terus terjadi dan tersebar di sosial media saat ini salah satunya adalah karena masifnya kampanye pengesahan RUU TPKS yang dilakukan oleh pendukung RUU TPKS. 

Di sisi lain, kampanye yang dilakukan untuk pengesahan RUU TPKS belum ditanggapi dengan serius oleh DPR sebagai bentuk pergerakan progresif yang melindungi korban kekerasan seksual dengan mengesahkan hukum yang berorientasi pada korban seperti RUU TPKS. 

DPR masih mengulur waktu dalam pengesahan RUU TPKS. Hingga saat ini, kampanye terkait RUU TPKS terus dilakukan hingga RUU TPKS disahkan.

DAFTAR PUSTAKA

Patros, Asmin dan Anggelia, Cindy. 2021. "Polemik Desakan Pengesahan RUU PKS: Suatu Tinjauan Sistem Hukum Nasional dan Perspektif Hak Asasi Manusia." Jurnal Komunikasi Hukum 7(2)

Efendi, Reno, dkk. "Urgensi Percepatan Pengesahan Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual." Jurnal Suara Hukum 3(1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun