Mohon tunggu...
R Adin Fadzkurrahman S.IP
R Adin Fadzkurrahman S.IP Mohon Tunggu... Ilmuwan - Kendal, Jawa Tengah

Seyogyanya saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rupiah Turun, Media TV dan Politikus Jangan Aji Mumpung!

6 September 2018   08:28 Diperbarui: 6 September 2018   09:30 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin udara pagi masihlah segar hari ini, namun masih terlalu dini untuk menikmatinya karena ia harus mengedepankan kepentingan.

Rupiah sejak era reformasi terus mengalami fluktuasi. 20 Tahun berlalu semenjak era reformasi, rupiah pun mengalami penurunan sampai pada titik terendah yakni 15.000 (entah variabel apa yang mendasari anggapan rupiah mengalami penurunan terendah dalam 20 tahun terakhir) menurut anggapan berbagai diskusi media massa khususnya televisi swasta di negeri ini.

Namun, yang menjadi fokus dari tulisan ini bukanlah nilai kurs rupiah yang turun menjadi 15.000 akan tetapi integritas media massa dalam membangun opini masyarakat yang bersifat menenangkan. Namun, opini publik seperti penulis mungkin di anggap kurang kerjaan ataupun memiliki niat terselubung jangan-jangan merupakan salah satu tim sukses kelompok A ataupun B, tentu anggapan itu tidaklah benar.

Setelah era reformasi, keran demokrasi dan kebebasan berpendapat di muka umum mulai terbuka. Pers atau media massa didalam sistem politik yang demokratis, adanya kritik atau opisisi dan dukungan merupakan energi yang cukup baik bagi berjalannya suatu sistem. 

Kritik akan memungkinkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dan lebih responsif serta accountable didalam membuat berbagai kebijakan. Tetapi, dibanyak negara, pers memberikan dukungan, baik kepada elite tertentu maupun dukungan kepada kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh para elite itu. 

Dukungan seperti ini berfungsi sebagai energi karena melalui dukungan semacam itu berarti  adanya legitimasi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dibuat memiliki dukungan cukup.

Maka, sepertinya pers negara Indonesia pun mulai mengikuti berbagai budaya pers barat. Dimana terkadang media menjadi relasi bagi pemerintah juga menjadi oposisi dari pemerintah karena mendukung ataupun pemilik media massa tersebuat adalah salah satu petinggi dari pemerintahan yang legal ataukah dari petinggi oposisi. 

Namun yang harus diperhatikan dalam pembangunan opini masyarakat mengenai turunnya nilai rupiah terhadap dollar oleh media pers haruslah memiliki akuntabilitas serta integritas yang baik khususnya dalam mendatangkan narasumber haruslah sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki oleh narasumber. 

Namun sekali lagi teori berbanding terbalik dengan realitas, nyatanya media massa khususnya televisi lebih senang mendatangkan narasumber yang berasal dari partai pendukung pemerintahan dan partai pendukung oposisi dibandingkan mengundang seorang ahli ekonom, ahli tata negara, kebijakan internasional dan sebagainya yang netral hanya berfikir ''Negara'' untuk menjadi narasumber yang kompeten. 

Alhasil, berbagai argumentasi yang disampaikan oleh narasumber dari politikus dua sisi tersebut hanya erat dengan kepentingan kelompok-kelompoknya saja yang kemudian dari berbagai argumentasi para politikus tersebut memunculkan 98 Trauma oleh masyarakat yang implikasinya ialah ketidak kondusifan dalam masyarakat karena berbagai argumen yang disampaikan lebih kepada saling serang dua kepentingan dan hanya bersifat profokativ terhadap keadaan yang terjadi serta saling menyalahkan satu sama lain demi kepentingan kelompok. 

Inilah yang penulis amati dari berbagai forum diskusi yang disiarkan secara langsung di televisi dimana Politikus srampangan lebih mendominasi dibandingkan seseorang yang ahli dalam bidangnya sehingga dapat dikatakan bahwa media massa khususnya penyiaran televisi merupakan sengkuni di era modern meskipun tidaklah semua media penyiaran televisi semacam ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun