Di era digital, putus cinta bukan lagi soal selesai atau tidak. Ia berubah jadi panggung. Dan di panggung itu, ada satu peran yang paling sering dipilih: korban.
Bukan korban dalam arti psikologis yang kompleks, tapi korban versi media sosial, yang selalu tersakiti, selalu benar, dan selalu layak dikasihani. Tiga tahun berlalu, hubungan sudah lama berakhir, tapi narasi tentang "aku yang paling hancur" tetap dipelihara. Bukan untuk penyembuhan, tapi untuk konsumsi publik.
Hal ini bukan sekadar gaya komunikasi. Ini adalah bentuk baru dari keterikatan emosional yang belum selesai. Menurut psikolog klinis Jennice Vilhauer, orang yang terus mengirim pesan tersirat kepada mantan sebenarnya sedang berusaha mempertahankan kendali atas narasi hubungan yang sudah berakhir. (Psychology Today, 2021)
Menurut psikolog klinis Dr. Ramani Durvasula, perilaku memposisikan diri sebagai korban secara terus-menerus bisa menjadi bentuk manipulasi emosional yang halus. "It's a way to avoid accountability while gaining sympathy," katanya dalam wawancara dengan MedCircle (2021). Artinya, dengan terus tampil sebagai pihak yang disakiti, seseorang bisa menghindari introspeksi dan tetap mendapat perhatian.
Fenomena ini makin kuat di media sosial. TikTok, Instagram, dan Twitter memberi ruang luas untuk membangun narasi personal. Lagu galau, kutipan ambigu, konten "healing" yang sebenarnya menyindir, semua jadi alat untuk memperkuat citra sebagai korban. Menurut studi dari Pew Research Center (2023), konten yang menampilkan emosi negatif dan personal cenderung mendapat engagement lebih tinggi dibanding konten netral.
Tapi mari kita jujur: kalau sudah bertahun-tahun berlalu dan kamu masih sibuk menyusun konten tentang "betapa kamu disakiti," itu bukan penyembuhan. Itu branding. Branding diri sebagai korban abadi. Dan branding seperti ini bukan cuma melelahkan bagi orang lain, tapi juga berbahaya bagi diri sendiri.
Karena orang yang terus memposisikan diri sebagai korban akan sulit tumbuh. Ia terjebak dalam narasi yang ia ciptakan sendiri. Menurut psikolog Guy Winch, "Healing requires letting go of the victim identity. Otherwise, you're just rehearsing pain, not releasing it." (TED Talk, 2017)
Lebih parah lagi, sindiran yang terus-menerus dibungkus seolah-olah sebagai refleksi. Padahal isinya jelas: nyindir mantan, nyindir masa lalu, nyindir siapa pun yang dianggap penyebab luka. Tapi semua dilakukan dengan gaya "dewasa"pakai font serif, lighting redup, dan caption bijak. Seolah-olah itu konten motivasi, padahal isinya dendam yang belum selesai.
Dan kalau kamu masih merasa itu bagian dari proses, silakan. Tapi jangan salahkan orang lain kalau mereka mulai bosan. Karena luka yang terus dipamerkan bukan lagi minta empati itu minta perhatian.
Jadi, kalau kamu masih sibuk menyindir dan membranding diri sebagai korban, mungkin sudah waktunya berhenti. Bukan karena orang lain sudah lupa, tapi karena kamu berhak untuk hidup di luar narasi itu. Tapi kalau kamu masih nyaman di sana, ya silakan. Hanya saja, jangan kaget kalau orang lain mulai melihatmu bukan sebagai korban lagi