Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Sapardi Djoko Damono, "Penyair Kalem" yang Puisinya Begitu Dalam

19 Juli 2020   13:36 Diperbarui: 19 Juli 2020   13:45 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapardi Djoko Damono/ sumber: https://asset.kompas.com

Sewaktu duduk di bangku kuliah, saya merasa "sulit" lepas dari sosok Sapardi Djoko Damono. Maklum, pada waktu itu, popularitas Sapardi memang sedang tinggi-tingginya. Kumpulan puisinya banyak dicetak ulang. 

Karya-karyanya kerap digubah menjadi lagu. Kiprahnya dalam dunia sastra sering diangkat dalam makalah dan skripsi. Makanya, jangan heran kalau Sapardi menjadi salah satu penyair yang begitu banyak disukai di jurusan tempat saya berkuliah.

Hal itu bisa terjadi bukan tanpa sebab. Jika dibandingkan dengan penyair lain, maka Sapardi adalah sosok yang "berbeda". Ia bukan Chairil Anwar yang kerap menulis puisi dengan nada-nada yang tajam.

Ia juga bukan Rendra yang sering "menyelipkan" kritik sosial dalam karya-karyanya. Ia juga bukan Sutardji yang begitu "berapi-api" dalam membacakan sajak-sajaknya. 

Sapardi adalah penyair yang jauh lebih kalem dari mereka semua, baik dari segi karya maupun kehidupannya.

Kekaleman inilah yang membuat mayoritas puisi-puisi yang ditulis Sapardi terasa begitu teduh, syahdu, dan tenang, layaknya sebuah lagu. Bahasa yang dipakainya sangat sederhana, dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi tentu saja tidak dangkal. Hal itu bisa ditemukan dalam banyak puisi yang digubahnya. Sebut saja puisi berikut ini.

Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.

Tema-tema yang diangkat dalam karya Sapardi juga beragam. Mulai dari cerita rakyat, dongeng, percintaan, hingga kehidupan sehari-hari. Tema-tema itulah yang membikin puisi-puisinya terasa sangat "membumi". Maka, jangan heran, meskipun sudah ditulis sejak tahun 60-an, namun karya-karyanya bisa diterima oleh hampir semua generasi.

Hal itulah yang kemudian menginspirasi banyak orang untuk mengutip lirik-lirik di dalam puisinya untuk pelbagai keperluan, misalnya, "kata-kata mutiara" di undangan pernikahan, kutipan di instagram, atau bahkan aransemen musik. 

Di antara sekian banyak puisi yang diciptakan oleh Sapardi, saya rasa, puisi inilah yang paling populer, sehingga banyak dikutip atau diubah dalam berbagai bentuk.

Aku Ingin

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya debu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada


Tak hanya puisi, Sapardi juga diketahui menulis novel. Salah satu novelnya yang sudah diterbitkan ialah Hujan Bulan Juni. Novel ini terinspirasi dari puisi ciptaannya yang berjudul sama.

Novel ini mengupas kisah percintaan dari sejoli bernama Sarwono dan Pingkan yang berbeda suku. Perbedaan inilah yang memicu konflik dan menggulirkan alur di dalam novel tersebut.

Jika dicermati, perbedaan yang terjadi antartokoh di novel tadi ibarat "anomali" dalam puisi Hujan Bulan Juni. Seperti diketahui, bulan Juni merupakan salah satu periode pada musim kemarau. Jarang sekali turun hujan pada bulan tersebut. Jadi, kalau ada hujan yang turun pada bulan itu, maka peristiwa itu dianggap sebagai sesuatu yang "aneh".

Meski begitu, di tengah "anomali" tadi, ada sebuah keintiman yang "tercipta". Bahwa di tengah perbedaan, masih ada sesuatu yang bisa menyatukan, yakni cinta, seperti yang terlukis dengan begitu "dalam" pada baris-baris lirik berikut.

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Sayangnya, kita tidak bisa lagi meresapi puisi-puisi Sapardi yang sangat kalem itu. Sebab, setelah sebulan kondisi kesehatannya menurun, Sapardi berpulang pada hari ini. 

Kami mendoakan semoga Pak Sapardi mendapat ketenangan dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Selamat jalan Pak Sapardi. Yang fana adalah waktu, tapi puisimu tetap abadi di hati kami.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun