Namun, beberapa tahun kemudian, keadaan berbalik: perusahaan berhasil membukukan laba, yang terus meningkat dari waktu ke waktu. ROE dan profit marjin-nya turut melambung dalam tiga tahun terakhir, sementara utangnya berkurang. Ini menandakan bahwa perusahaan mulai bangkit.
Anehnya, biarpun mempunyai fundamental yang lumayan bagus, harga kedua saham tadi susah "ngangkat". Saat artikel ini ditulis, saham HRTA dihargai Rp 208 per lembar, sementara ICON Rp 70.
Investor khawatir kalau sewaktu-waktu Asabri terpaksa menjual semua sahamnya, hal itu akan membikin harga saham tersebut jatuh. Makanya, sebelum hal itu terjadi, beberapa bulan lalu, saham ini tampak "diobral".
Lalu, bagaimana dengan fundamental saham lainnya? Rata-rata terlihat lemah. Pertumbuhannya inkonsisten, sehingga harganya pun susah diprediksi. Sebut saja saham NIKL, yang laporan keuangannya banyak ditandai warna merah.
Dalam lima tahun terakhir, hanya pada tahun 2016 dan 2017, NIKL mencatatkan keuntungan, sementara selebihnya kerugian. Pada tahun ini, laporan keuangannya membaik, lantaran sempat untung pada awal tahun, tetapi kalau dilihat dari pertumbuhan laba antarkuartal, saham ini malah cenderung berbalik menjadi rugi lagi.
Sejak melakukan IPO pada tahun 2017, labanya masih minus, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa perusahaan akan beranjak dari "zona merah". Makanya, jangan heran, sahamnya terkapar di harga Rp 338 per lembar.
Jika dilihat dari grafik harganya, saham ini sudah menghuni "Klub Gocap" sejak awal tahun 2019, dan sepertinya masih betah berada di sana sampai tulisan ini dibuat.