Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jika Bursa Saham Terdampak Mati Listrik

5 Agustus 2019   10:09 Diperbarui: 5 Agustus 2019   13:38 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bursa Efek Indonesia| Sumber: asset.kompas.com

Bagi saya, peristiwa mati listrik yang terjadi pada hari Minggu kemarin adalah sebuah "krisis". Betapa tidak, untuk pulang ke rumah saja, saya mesti berpindah-pindah moda transportasi. Semua itu bermula ketika KRL yang hendak saya naiki lumpuh total.

Beberapa jam sebelumnya, saya memang sempat mendengar kabar bahwa terjadi mati listrik yang luas di wilayah Jabodetabek. Saya kira, kejadian tadi hanya akan berlangsung beberapa jam saja. Saya pikir, PLN bisa segera memperbaiki gardu yang rusak dan semua akan berjalan normal seperti sediakala.

Namun, perkiraan saya ternyata meleset. Pasalnya, setelah satu jam "telantar" di Stasiun Gondangdia, belum ada tanda-tanda bahwa kereta akan beroperasi. Petugas hanya memberi pengumuman yang itu-itu saja lewat pengeras suara. Semua jadi serba tidak pasti.

Kekhawatiran sempat menyelimuti hati saya. Terus berdiam di stasiun tentu tidak ada gunanya. Biarpun ada info bahwa listrik akan kembali hidup dalam waktu enam jam, opersional KRL belum tentu akan langsung berjalan seperti biasa. Bisa-bisa butuh waktu lebih lama lagi sebelum akhirnya KRL dapat mengantar saya sampai tujuan.

sejumlah penumpang menunggu beroperasinya krl di stasiun gondangdia| Sumber: dokumentasi Adica)
sejumlah penumpang menunggu beroperasinya krl di stasiun gondangdia| Sumber: dokumentasi Adica)
Sementara, kalau berganti moda transportasi lain pun, saya agak sulit. Sinyal sangat minim pada waktu itu. Akses internet jadi sangat terbatas. Meski begitu, untungnya, saya masih bisa memesan ojek online.

Pilihan itu dianggap lebih efektif dan efisien. Selain bebas macet, tarif yang dibayarkan juga lebih murah. Secara keseluruhan, saya mesti berganti ojek online sebanyak 4 kali sebelum akhirnya bisa tiba di rumah dengan selamat.

Untungnya, krisis listrik tersebut sekarang sudah lewat. Sampai tulisan ini dibuat, listrik telah menyala seperti sebelumnya. Kinerja petugas PLN dalam memperbaiki kerusakan tentu perlu diapresiasi. Sebab, dalam krisis yang berdampak luas demikian, upaya perbaikan bisa dilakukan dalam waktu satu hari kerja.

Coba kalau krisis tadi berlangsung beberapa hari. Semua tentu akan bertambah parah kondisinya. Akan ada begitu banyak kerugian andaikan hal itu sampai terjadi. Apalagi kalau itu sampai berimbas pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia.

Saya sulit membayangkan kerugian yang akan ditanggung andaikan perdagangan saham terhenti akibat mati listrik. Yang jelas, kerugiannya bisa sangat besar.

Hal itu tentu wajar terjadi. Sebab, nilai transaksi yang berlangsung di bursa saham bisa mencapai ratusan triliyunan rupiah. Pada bulan Juni kemarin saja, nilai rata-rata perdagangan saham menyentuh angka 11,3 triliyun rupiah per hari! Makanya, kalau bursa efek sampai terhenti satu hari saja, kerugiannya setara dengan nominal tersebut.

Kasus mati listrik massal yang berlangsung kemarin mungkin hanya satu di antara sekian banyak krisis yang bisa menerpa perdagangan saham di Indonesia. Meskipun krisis tersebut jarang sekali terjadi, bukan berarti tidak ada langkah yang dapat diambil untuk meminimalkan risiko investasi. Berikut ialah beberapa hal yang bisa dilakukan manakala terjadi krisis yang "menggoyang" bursa saham.

1. Menyikapi Krisis dengan "Kepala Dingin"
Krisis yang berlangsung di bursa efek ditandai dengan penurunan harga saham yang sangat dalam. Krisis ini bisa menerpa suatu saham, sektor, atau bahkan indeks. Saat terjadi hal demikian, yang mesti dilakukan investor ialah tetap bersikap tenang.

Hal ini mungkin sulit dilakukan. Investor mana yang bisa tetap bersikap santai manakala harga saham yang dipegangnya amblas lebih dari 50%? Semua tentu akan gelisah, takut, dan khawatir.

Hal itu tentu dapat dimaklumi. Sebab, kalau saham sudah turun hingga 50%, butuh kekuatan 100% untuk kembali ke posisi semula, dan hal ini jelas akan memakan waktu yang lama, bisa dalam hitungan bulan atau tahun.

Meski begitu, kejernihan dalam berpikir tetap dibutuhkan. Jangan sampai, karena terbawa kepanikan, investor mengambil tindakan ceroboh yang bisa merugikan dirinya sendiri. Makanya, dalam situasi yang paling buruk sekalipun, investor mesti tetap mengawasi keadaan dengan kepala dingin, sehingga bisa mengambil langkah mitigasi risiko yang tepat untuk menyelamatkan portofolionya.

2. Melakukan Mitigasi Risiko Investasi
Saat harga saham jatuh sangat dalam, ada dua strategi yang bisa dilakukan, yakni cutloss atau averaging down. Kedua strategi ini diterapkan untuk jenis saham yang berbeda.

Strategi cutloss cocok digunakan untuk saham-saham berfundamental lemah. Batasan cutloss berbeda untuk masing-masing investor. Saya punya batasan 8%. Apabila saham saya harganya terjerembab di atas 8%, tanpa ragu, saya akan langsung jual. Rugi? Tentu saja. Namun, menurut saya, itu adalah cara yang bijak. Sebab, saya tidak tahu secara pasti seberapa dalam harganya akan terus merosot pada masa depan.

Sementara, averaging down dipakai untuk saham-saham berfundamental kuat. Saham-saham jenis ini biasanya tergolong saham bluechip. Makanya, kalau saham ini longsor harganya, hal itu tidak diartikan sebagai "malapetaka", tetapi sebagai "kesempatan emas".

Kapan lagi kita bisa membeli saham bagus dengan harga yang sangat murah? Hanya saat terjadi krisis hebatlah kita dapat melakukannya. Jadi, sewaktu krisis menghatam harga suatu saham, alih-alih melepasnya, investor yang cerdik justru membeli lebih banyak sahamnya.

3. Merealisasi Keuntungan
Sewaktu pasar saham pulih, investor yang masih menggenggam sahamnya umumnya bisa menikmati cuan yang besar, apalagi kalau ia membeli di posisi terendah dalam krisis. Boleh jadi, ia menuai untung di atas puluhan atau bahkan ratusan persen.

Pada saat itu, keserakahan biasanya muncul. Hanya karena sudah untung banyak, investor yang bersangkutan seolah "lupa" merealisasi keuntungan. Ia berupaya menahan saham yang dimilikinya selama mungkin tanpa ingin mencairkan cuan yang didapatnya.

Hal itu sebetulnya sah-sah saja dilakukan. Namun, mesti diingat bahwa suatu saat, krisis bisa terjadi lagi, dan hal itu dapat "menggerus" keuntungan tadi. Kalau hal itu sampai terjadi, investor jelas akan rugi waktu. Makanya, taking profit penting dilakukan. Hal ini diperlukan untuk "mengamankan" keuntungan yang sudah didapat.

Krisis mati listrik massal yang terjadi pada hari Minggu kemarin sejatinya adalah sebuah keniscayaan. Ia bisa terjadi kapanpun. Tidak ada yang bisa menebak secara pasti waktu kedatangannya. Meski begitu, bukan berarti kita hanya bisa pasrah menyambutnya. Ada hal-hal yang bisa dilakukan untuk memitigasi krisis yang terjadi.

Demikian pula kalau terjadi krisis yang menerjang bursa saham. Investor yang bijak bisa menanganinya dengan baik. Seburuk apapun krisis yang datang, apabila ditangani dengan baik, investasi saham yang dilakukan bisa selamat. Bahkan, bukan mustahil, investor bisa meraup untung besar di dalam suatu krisis!

Salam

Adica Wirawan

Referensi: medcom.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun