Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Jika Bursa Saham Terdampak Mati Listrik

5 Agustus 2019   10:09 Diperbarui: 5 Agustus 2019   13:38 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bursa Efek Indonesia| Sumber: asset.kompas.com

1. Menyikapi Krisis dengan "Kepala Dingin"
Krisis yang berlangsung di bursa efek ditandai dengan penurunan harga saham yang sangat dalam. Krisis ini bisa menerpa suatu saham, sektor, atau bahkan indeks. Saat terjadi hal demikian, yang mesti dilakukan investor ialah tetap bersikap tenang.

Hal ini mungkin sulit dilakukan. Investor mana yang bisa tetap bersikap santai manakala harga saham yang dipegangnya amblas lebih dari 50%? Semua tentu akan gelisah, takut, dan khawatir.

Hal itu tentu dapat dimaklumi. Sebab, kalau saham sudah turun hingga 50%, butuh kekuatan 100% untuk kembali ke posisi semula, dan hal ini jelas akan memakan waktu yang lama, bisa dalam hitungan bulan atau tahun.

Meski begitu, kejernihan dalam berpikir tetap dibutuhkan. Jangan sampai, karena terbawa kepanikan, investor mengambil tindakan ceroboh yang bisa merugikan dirinya sendiri. Makanya, dalam situasi yang paling buruk sekalipun, investor mesti tetap mengawasi keadaan dengan kepala dingin, sehingga bisa mengambil langkah mitigasi risiko yang tepat untuk menyelamatkan portofolionya.

2. Melakukan Mitigasi Risiko Investasi
Saat harga saham jatuh sangat dalam, ada dua strategi yang bisa dilakukan, yakni cutloss atau averaging down. Kedua strategi ini diterapkan untuk jenis saham yang berbeda.

Strategi cutloss cocok digunakan untuk saham-saham berfundamental lemah. Batasan cutloss berbeda untuk masing-masing investor. Saya punya batasan 8%. Apabila saham saya harganya terjerembab di atas 8%, tanpa ragu, saya akan langsung jual. Rugi? Tentu saja. Namun, menurut saya, itu adalah cara yang bijak. Sebab, saya tidak tahu secara pasti seberapa dalam harganya akan terus merosot pada masa depan.

Sementara, averaging down dipakai untuk saham-saham berfundamental kuat. Saham-saham jenis ini biasanya tergolong saham bluechip. Makanya, kalau saham ini longsor harganya, hal itu tidak diartikan sebagai "malapetaka", tetapi sebagai "kesempatan emas".

Kapan lagi kita bisa membeli saham bagus dengan harga yang sangat murah? Hanya saat terjadi krisis hebatlah kita dapat melakukannya. Jadi, sewaktu krisis menghatam harga suatu saham, alih-alih melepasnya, investor yang cerdik justru membeli lebih banyak sahamnya.

3. Merealisasi Keuntungan
Sewaktu pasar saham pulih, investor yang masih menggenggam sahamnya umumnya bisa menikmati cuan yang besar, apalagi kalau ia membeli di posisi terendah dalam krisis. Boleh jadi, ia menuai untung di atas puluhan atau bahkan ratusan persen.

Pada saat itu, keserakahan biasanya muncul. Hanya karena sudah untung banyak, investor yang bersangkutan seolah "lupa" merealisasi keuntungan. Ia berupaya menahan saham yang dimilikinya selama mungkin tanpa ingin mencairkan cuan yang didapatnya.

Hal itu sebetulnya sah-sah saja dilakukan. Namun, mesti diingat bahwa suatu saat, krisis bisa terjadi lagi, dan hal itu dapat "menggerus" keuntungan tadi. Kalau hal itu sampai terjadi, investor jelas akan rugi waktu. Makanya, taking profit penting dilakukan. Hal ini diperlukan untuk "mengamankan" keuntungan yang sudah didapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun