Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sebuah "Gunting" yang Tersembunyi dari Program Pangkas Pajak

15 April 2019   10:09 Diperbarui: 15 April 2019   13:06 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: buset-online.com

Dalam "debat pamungkas" yang diselenggarakan pada tanggal 13 April kemarin, selalu saja ada hal yang menarik dibahas. Di antaranya, pernyataan dari kubu Prabowo-Sandiaga yang menyebut akan melakukan pemangkasan pajak apabila nanti keduanya terpilih menjadi presiden dan wakil presiden.

Sekilas program tersebut terkesan "merdu" di telinga, terutama individu dan perusahaan yang mesti membayar pajak secara rutin. Betapa tidak! Kewajiban mereka dalam menyetor pajak akan berkurang, dan secara otomatis, pendapatan yang diperoleh pun akan bertambah!

Kubu Prabowo-Sandiaga beralasan bahwa pemangkasan itu bisa menggenjot konsumsi. Kalau pendapatan masyarakat naik karena beban pajaknya dikurangi, berarti daya beli masyarakat pun akan ikut meningkat. Masyarakat bebas membelanjakan uangnya untuk keperluan apapun.

Belanja masyarakat tersebut diharapkan bisa juga mendorong investasi masuk ke dalam negeri. Jika investasi masuk, Sandi mengatakan basis penerimaan pajak baru bagi negara diharapkan bisa muncul sehingga rasio pajak bisa dinaikkan.

"Kami akan mengurangi pajak perseorangan sehingga hasilnya bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, lalu hasilnya dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, sehingga kita bisa bersaing dalam menarik investasi dan kita ciptakan pajak untuk pembangunan masyarakat," jelas Sandiaga seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Biarpun tergolong populer, bukan berarti program pemotongan pajak bebas dari kritik. Pasalnya, program tadi bisa jadi hanya menciptakan "euforia" sesaat, tetapi musibah kemudian. Kita bisa berkaca pada program pemangkasan pajak yang digagas oleh Presiden Donald Trump pada Pemilu Amerika Serikat sebelumnya.

Dalam kampanyenya terdahulu, Trump meneken "janji politik" akan melakukan pemotongan pajak perorangan dan perusahaan. Pada penghujung tahun 2017, ia menepati janjinya dengan menandatangani undang-undang pengurangan pajak sebesar 1,5 triliun dolar beberapa menit sebelum berangkat meninggalkan Washington untuk berlibur di Florida.

"Saya tidak ingin kalian mengatakan bahwa saya tidak menepati janji, saya menepati janji saya," katanya kepada wartawan yang menyaksikan upacara penandatanganan di Oval Office, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia.

Seperti ide yang dicetuskan oleh Prabowo-Sandiaga, program tersebut jelas disambut meriah oleh pelaku bisnis. Setelah Trump selesai mengesahkan peraturan tadi, bursa saham di Amerika Serikat "menghijau". Ekonomi terlihat bertumbuh, dan masa depan bangsa Amerika Serikat tampak sangat cerah.

Sayangnya, harapan itu kini menjadi "redup". Setelah "euforia" tadi, perekonomian Amerika Serikat sekarang justru berada di ambang resesi. Pasar saham "goyang", dan masyarakat AS menjadi pesimis menyambut hari esok. Penyebabnya sederhana. Lagi-lagi sumbernya adalah kebijakan pemotongan pajak yang dulu sempat ditandatangani Trump.

Oleh karena pajak dipangkas, pendapatan yang diterima Pemerintah AS jelas akan berkurang. Untuk menutupi anggaran belanja negara yang terus bertumbuh, Pemerintah AS mesti menerbitkan surat utang alias obligasi.

Nah, masalahnya, ada banyak investor yang masih ragu membeli obligasi dari Pemerintah AS. Mereka enggan memberi pinjaman dalam jangka panjang karena kondisi ekonomi AS sedang timpang.

Apalagi keadaan itu diperparah dengan perang dagang antara AS dan Tiongkok yang sampai sekarang belum menemukan "titik terang" dan sikap Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang secara agresif terus meningkatkan suku bunga acuan.

Atas dasar itulah, investor kemudian menuntut kenaikan imbal hasil untuk obligasi jangka pendek. Hal itu jelas sebuah "anomali". Kalau kita pinjam uang ke bank untuk tenor 1 tahun, misalnya, bunga yang mesti dibayar tentu akan jauh lebih rendah daripada tenor 10 tahun.

Namun, yang terjadi pada obligasi Pemerintah AS justru sebaliknya. Pemerintah AS bersedia membayar bunga lebih tinggi untuk obligasi jangka waktu 1-2 tahun kepada investor supaya investor mau memberi mereka pinjaman untuk menutupi belanja pemerintah.

Hal itu "mengindikasikan" terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat. Biarpun sampai tulisan ini dibuat, resesi ekonomi tadi masih sebatas "bayang-bayang", bukan berarti hal itu tidak akan terjadi pada masa depan kalau Pemerintah AS terus mempertahankan kebijakan pemangkasan pajak yang disahkan Trump.

Makanya, menurut hemat saya, program pemotongan pajak yang digagas kubu Prabowo-Sandiaga perlu dikaji uang. Jangan sampai hanya untuk meningkatkan elektabilitas, program tadi bisa menjelma "gunting" yang ikut "memangkas" hajat hidup orang banyak, seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

Salam.
Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi:
cnnindonesia.com
Voaindonesia.com
kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun