Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

4 Resep Memberantas "Hantu" Hoaks di Dunia Maya ala Menteri Agama

25 Juli 2018   10:09 Diperbarui: 25 Juli 2018   10:11 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Agama RI Bapak Lukman Hakim Saifuddin dalam Acara Perspektif Kompasiana (sumber: dokumentasi adica)

Suatu ketika, dalam ciutan di twitter, penyair Joko Pinurbo (Jokpin) pernah menulis: "Ajarilah kami para pemimpi yang gigih ini untuk berdamai dengan segala andai." Sepertinya Jokpin sadar betul bahwa berandai-andai itu "sulit". Apalagi kalau diminta berandai-andai menjadi seorang menteri agama.

Walaupun hanya berkhayal, sewaktu berandai-andai sekalipun, kita harus tahu "batas". Jangan sampai kita bablas berandai-andai hingga semua yang diandaikan menjadi mimpi siang bolong. Makanya, kita pun harus tetap bersikap realistis. Seperti kata William Tanuwidjaya, CEO Tokopedia: "Bermimpilah dengan mata terbuka." Jadi, dengan tetap membuka mata terhadap realita, semua yang diandaikan bisa saja terwujud menjadi kenyataan suatu hari nanti.

"Andaikan saya menjadi menteri agama, apa yang akan saya lakukan untuk menyikapi ujaran kebencian, berita hoax, dan perilaku dalam bermedia sosial yang dapat mencederai kerukunan antarumat beragama di Indonesia?" Jelas itu merupakan pertanyaan yang sulit dijawab. Sebab, dibutuhkan uraian yang terbilang kompleks untuk menjawabnya.

Kalau "bercermin" pada kehidupan nyata, sebetulnya cukup sulit kalau kita ingin memberantas persebaran hoax di internet. Ibarat sebuah bayang-bayang, berita tersebut terus "menghantui" jagat maya.

Penyebaran hoax seolah sulit dibendung, ditangkal, dan dihentikan. Sejumlah negara telah melakukan berbagai cara untuk meminimalkan persebaran hoax. Hasilnya? Hoax masih saja dapat "menyusup" ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Hoax yang paling "renyah" disantap oleh warganet di antaranya adalah berita politik. Sepertinya topik tentang pemerintahan, kekuasaan, dan pemilihan umum menjadi "sumber mataair" bagi "produsen hoax" untuk menciptakan dan menyebarkan lebih banyak kabar-kabar palsu kepada masyarakat dengan berbagai tujuan.

Seperti dilansir dari dailytimes.com, sebuah laporan dari Massachusetts Institute of Technology pada tahun 2018 menyebutkan bahwa kabar politik palsu mampu menyebar lebih luas, menjangkau lebih banyak orang, dan menjadi lebih cepat viral daripada kategori informasi palsu lainnya. Mengapa bisa terjadi demikian? Sebab, orang-orang menyukai sesuatu yang "sensasional", "kontroversial", dan "bombastis". Bad news is good news.

Telah banyak negara yang mengalami pergolakan akibat persebaran berita palsu. Makanya, secara serius, berbagai negara berupaya "memerangi" penyebaran berita tersebut. Sebut saja, Jerman yang akan menjatuhkan denda sebesar 50 juta euro kepada perusahaan media sosial (medsos) manapun, yang kontennya mayoritas berisi kabar bohong. Pemerintah Jerman sepertinya menyadari benar bahwa media sosial adalah "gerbang utama" bagi arus persebaran hoax.

Maklum saja, media sosial memang mengutamakan penyebaran. Berita heboh apapun akan mudah tersiar dengan cepat lewat medsos. Jadi, salah satu cara untuk menekan penyebaran hoax adalah dengan mengawasi medsos secara ketat.

Andaikan Saya Menjadi Menteri Agama

Persoalan tentang hoax juga menjadi perhatian serius Menteri Agama Republik Indoneisa, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Sewaktu saya menghadiri acara Perspektif Kompasiana beberapa bulan yang lalu, Pak Lukman banyak membahas isu-isu di medsos.

Maklum saja, menurut beliau, masyarakat Indonesia kini hidup di dua "dunia", yaitu "dunia nyata" dan "dunia maya". Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa "dunia maya" ternyata punya pengaruh dahyat karena bisa "menyetir" pola pikir masyarakat. Semua itu bisa terjadi akibat masyarakat mudah termakan berita palsu alias hoax.

Untuk menangkal hoax, Pak Lukman menyarankan supaya masyarakat melakukan verifikasi data. "Kita bisa bertanya untuk mengklarifikasi informasi kepada orang lain yang tepat, yaitu kepada sumber informasi tersebut," jelasnya. Dengan bertanya balik kepada orang yang menyebarkan informasi, kita bisa segera mengetahui sumber informasi tersebut, sehingga kita bisa "mengerem" penyebaran suatu informasi yang belum valid kebenarannya sebelum meneruskannya kepada orang lain.

Kemudian, Pak Lukman juga mengingatkan bahwa satu syarat saat aktif main medsos adalah "jangan baper". Makanya, masyarakat dianjurkan kembali ke esensi agama sebelum intens bermedia sosial. Ajaran agama menjadi "benteng", yang dapat menangkis sikap mudarat yang mungkin akan muncul saat kita berjumpa dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya di jagat maya. Dengan demikian, perseteruan antar sesama pengguna medsos dapat diminimalkan.

Demikianlah "resep" yang disampaikan Pak Lukman dalam bermedia sosial, dan andaikan boleh memberi tambahan, saya akan menambahkan "resep" lainnya. Satu, mensosialisasikan prinsip bermedia sosial di sekolah. Selama ini, satu faktor yang menyebabkan mudahnya pernyebaran hoax adalah kurangnya pemahaman tentang prinsip bermedia sosial.

Masyarakat sepertinya belum mengerti betul prinsip "saring sebelum sharing", yang umumnya menjadi acuan manakala menerima informasi yang belum teruji kebenarannya.

Hal itu bisa terjadi karena prinsip tersebut jarang disosialisasikan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah perlu memerhatikan pengajaran prinsip bermedia sosial di masyarakat.

Pengajaran itu pun bisa dimulai di sekolah. Sebab, sekolah adalah tempat yang tepat untuk menanamkan prinsip tersebut kepada generasi penerus. Sayangnya, guru jarang menyinggung soal prinsip tersebut di kelas.

Makanya, siswa hanya diajarkan tentang sejarah teknologi informasi, dikenalkan tentang tokoh-tokoh pencipta media sosial, tetapi jarang diajarkan tentang prinsip yang mesti diamalkan dalam media sosial.

Pengajaran itu tak melulu harus lewat ceramah, tetapi bisa melalui keteladanan. Sebagai role model, guru mesti terlebih dulu menerapkan prinsip "saring sebelum sharing". Dengan demikian, siswa bisa mencontoh sikap baik yang ditunjukkan gurunya di dunia maya. Bagaimanapun tindakan mengajarkan lebih banyak hal daripada kata-kata.  

Dua, menjalin kerja sama dengan organisasi yang secara khusus menangani validitas informasi. Sebetulnya ide itu terinspirasi dari Aos Fatos. Aos Fatos adalah lembaga jurnalistik independen yang didirikan oleh jurnalis Tai Nalon.

Organisasi itu mendedikasikan diri untuk menelusuri kebenaran dari berita-berita yang tersiar di Brasil. Ia menjadi lembaga investigasi sekaligus tempat untuk mengkroscek validitas suatu informasi. Berkat sepak terjangnya, ia juga dipercaya menjadi salah satu mitra Facebook untuk memerangi hoax di media sosial.

Lembaga yang sama juga bisa dibentuk oleh pemerintah. Kini telah ada negara yang membangun unit yang fokus menyelesaikan masalah persebaran hoax, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Inggris.

Seperti dikutip dari harian kompas pada tanggal 15 Juli 2018, Pemerintah Inggris membentuk sebuah unit yang secara khusus memberantas fake news. Sepertinya Pemerintah Inggris sudah "mencium" bahaya laten dari penyebaran hoax. Makanya, Pemerintah Inggris sampai-sampai menyiapkan anggaran untuk meredamnya.

Kemudian, apakah Pemerintah Indonesia juga akan meniru langkah yang sama? Bisa saja. Mungkin, pada masa depan, akan terbentuk Komisi Pemberantasan Hoax (KPH) di Indonesia.

Persoalan hoax memang sukar ditangani oleh satu kementerian saja. Sebab, ia adalah masalah bersama. Sudah seharusnya antarkementerian bersinergi mengatasinya. Sebagai sebuah lembaga pemerintahan, Kementerian Agama bertugas menyampaikan, mengingatkan, dan mengedukasi masyarakat untuk terlebih dulu "menata hati" sebelum memasuki dunia media sosial yang penuh dengan warna. 

Sebagai penutup, marilah kita menyimak deklamasi puisi yang disampaikan oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin sebagai bahan renungan bersama tentang prinsip bermedia sosial yang baik.


Salam.

Adica Wirawan, Founder of Gerairasa

"Fake news: the media industry strikes back", dailytimes.com, diakses pada tanggal 18 Juli 2018.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun