Batik barangkali bisa menjadi "solusi instan" manakala saya bingung menentukan pilihan busana yang akan dikenakan dalam sebuah acara. Makanya, di dalam lemari pakaian, saya memiliki sejumlah batik. Bukan batik yang mewah memang. Namun, bagi saya, batik milik saya punya motif indah, yang mampu "memanjakan" mata siapapun yang memandangnya. Ada yang bermotif tumbuh-tumbuhan. Ada pula yang bercorak hewan. Makanya, tak hanya nyaman dikenakan, batik itu juga menampilkan "miniatur karya seni" yang bisa diperlihatkan kepada sejawat.
Pertimbangan lainnya ialah bahwa batik tersebut ternyata diciptakan oleh tangan-tangan terampil anak negeri. Makanya, batik itu termasuk produk dalam negeri, yang layak dibanggakan dan dilestarikan. Apalagi kini batik telah menjadi budaya populer di masyarakat. Buktinya, di mana-mana, kita sering menjumpai orang-orang yang berseragam batik.
Sebut saja, dalam beberapa acara seminar, saya sering melihat beberapa narasumber dan peserta, yang beramai-ramai memakai batik.
Hal itu tentu saja menjadi kabar baik bahwa masyarakat Indonesia sebetulnya telah mencintai produk dalam negeri. Biarpun baru sebatas beberapa produk, seperti batik, setidaknya kita bisa menepis "sedikit" stigma bahwa orang Indonesia, terutama generasi Milenials, lebih menyenangi produk asing daripada produk bangsanya sendiri.
Berkaca pada Bangsa Lain terhadap Kecintaan Pada Produk dalam Negerinya Sendiri
Hal tersebut tentu bisa dimaklumi karena demikianlah fenomena yang terjadi di "lapangan". Padahal, kalau kita “becermin” pada negera lain, kita akan melihat fenomena sebaliknya. Sebab sejumlah bangsa, seperti di kawasan Asia, malah tertarik memakai produk dalam negerinya sendiri. Sebut saja Jepang dan Korea, yang masyarakatnya begitu menghargai produk karya anak bangsanya.
Fakta itu juga diamini oleh Haris Munandar, selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian. "Walaupun produk-produk dari Jepang dulunya berkualitas rendah, warganya tetap bangga menggunakannya,” katanya.
“Pasalnya, hal itu akan membuka lebih banyak lapangan kerja,” lanjut Haris lagi. Hal itulah yang kemudian yang akan menjadi penggerak perekonomian di tanah air. “Jadi, banggalah terhadap produk indonesia sebab hal itu akan menyumbangkan dampak bagi roda ekonomi masyarakat,” katanya.
Biarpun telah dikenal oleh masyarakat dunia, anehnya, hanya sedikit orang Indonesia yang mengetahui produk unggulan karya anak bangsa. Makanya, sewaktu pembicara berikutnya, Akhyari Hananto, selaku Founder & Editor in Chief Good News From Indonesia, melakukan sebuah survei sederhana, masyarakat Indonesia hanya tahu Indomie sebagai produk nomor satu yang sangat terkenal di mancanegara.
Apalagi, pada tahun 2030, benua Asia akan menjadi “kutub” perekonomian dunia, dan Indonesia akan mendapat “berkahnya”. Semua itu tentunya bisa terjadi, di antaranya, karena digitalisasi yang terus bertumbuh dan berkembang di wilayah tersebut. Makanya, sangat sayang kalau kita melewatkan begitu saja “kesempatan emas” tersebut.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, pembicara selanjutnya, Iwet Ramadhan, selaku Founder TIK by Iwet Ramadhan, Jakarta Creative Hub, Penyiar Radio, juga hadir menyampaikan presentasi tentang proyek JCreative, yang berkontribusi mengayomi dan memberdayakan ibu-ibu yang tinggal di rusun untuk menciptakan lebih banyak karya.
Sebagai generasi Milenials, saya merasa bahwa kecintaan terhadap produk dalam negeri perlu dipupuk. Apalagi, pemerintah, lewat Kementerian Perindustrian, hadir menyokong ukm-ukm agar menyuburkan ekosistem industri yang menghasilkan produk dalam negeri, seperti batik yang sempat saya singgung pada awal tulisan.
Kementeterian Perindustrian juga siap menyediakan permodalan bagi setiap pelaku usaha produk dalam negeri. Dengan demikian, kecintaan terhadap pruduk dalam negeri terus bertumbuh, perekonomian tetap berkembang, dan persoalan sosial dapat teratasi. Oleh sebab itu, seperti ucapan penutup dari Haris, cintailah produk Indonesia dengan memilikinya.
Salam.