Mohon tunggu...
Adi Bermasa
Adi Bermasa Mohon Tunggu... Jurnalis - mengamati dan mencermati

Aktif menulis, pernah menjadi Pemimpin Redaksi di Harian Umum Koran Padang, Redpel & Litbang di Harian Umum Singgalang, sekarang mengabdi di organisasi sosial kemasyarakatan LKKS Sumbar, Gerakan Bela Negara (GBN) Sumbar, dll.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Kompasianer Harapkan Bukittinggi Lebih Baik

13 April 2016   08:48 Diperbarui: 13 April 2016   09:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hamparan Kota Bukittinggi dilihat dari puncak Jam Gadang. (FOTO: KORAN PADANG)"][/caption]TULISAN mengenai wisatawan yang mengaku ‘dipakuak’ atau ‘diperas’ dengan harga tak wajar saat makan di Los Lambuang, Kota Bukittinggi, yang diangkat berdasarkan pemberitaan Harian Koran Padang, mendapat sambutan luar biasa dari puluhan ribu Kompasianer.

Sampai Rabu pagi (13/4/2016) pukul 08.30 WIB, sejak dimunculkan KOMPASIANA pada Selasa (5/4/2016) pukul 14.02 WIB, sudah tercatat 40.527 yang membaca tulisan itu. Diperkirakan, inilah berita sosial kontrol yang paling tinggi ratingnya untuk kawasan Sumatra dan mungkin juga untuk Indonesia (?) dalam tahun 2016 ini diterbitkan KOMPASIANA.

Tulisan itu juga diiringi 29 komentar yang dimunculkan rekan-rekan Kompasianer dari berbagai negara di dunia, di antaranya Pak TJIPTADINATA EFENDI, warga Padang yang merantau ke Wollongo, Australia. Bahkan ada juga komentar dari Kompasianer yang berdomisili di Timur Tengah.

Banyaknya peminat tulisan kriteria sosial kontrol mungkin juga disebabkan Bukittinggi sudah begitu terkenal sebagai kota wisata yang menarik untuk dikunjungi. Bisa juga hal itu sebagai tanda bahwa pelayanan terhadap pendatang perlu ditingkatkan agar lebih baik lagi.

Sebenarnya, persoalan yang dimunculkan itu hanya sebagai masukan supaya yang segala sesuatu yang bernada negatif dalam dunia pariwisata di Bukittinggi tidak ada lagi. Setidaknya, pengunjung tidak lagi memberi komentar miring setelah meninggalkan kota berhawa sejuk itu. Contohnya saja biaya parkir, apakah sudah sesuai dengan Perda yang ditetapkan? Tidak perlu dicari elah dan alasannya kenapa masih tetap ada 'pembangkangan'. Begitu juga segi lainnya. Perlu diharapkan evaluasi berkelanjutan dari pihak yang berwenang.

Semoga saja dari banyaknya komentar tentang tulisan yang mengingatkan tentang perlunya peningkatan pelayanan terhadap pendatang menjadi masukan oleh banyak pihak sesuai dengan kemajuan yang terus menggurita.

Tindak lanjut yang bisa dilakukan misalnya dengan mencantumkan harga pas terhadap barang yang dijual, mulai dari makanan, minuman, sambal, pakaian, mukena, jilbab, beragam jahitan pakaian, dan lain sebagainya.

Apa yang dibeli di Bukittinggi janganlah harganya lebih mahal dibandingkan model dan tipe yang sama jika dibeli di kota lainnya, seperti di Padang, Jakarta, Payakumbuh, dan tempat lainnya.
Begitu juga dalam hal makanan, kuliner, atau sejenisnya. Sebab, masih saja ada tamu yang berkunjung ke Bukittinggi yang 'mempergunjingkan' gulai itiknya kok keterlaluan harganya.

Untuk itu, pemilik rumah makan diharapkan bersedia mencantumkan tarif resminya. Cara itulah yang terbaik. Jika tidak, dalam waktu yang tidak begitu lama lagi rumah makan nakal tanpa menampilkan tarif akan ditinggalkan karena pengunjung tentu tidak mau kehilangan tongkat dua kali'. Maksudnya, dua kali 'kanai kicuah'.

Apa yang pernah dirasakan pendatang ke Bukittinggi saat berbelanja, termasuk harga makanan atau 'menu' yang mencekik, sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi suatu daerah yang wisatanya masih pada tahap pemula. Sebut saja misalnya kawasan Malioboro Jogjakarta yang doeloenya juga mengalami kondisi demikian. Banyak penikmat kuliner ‘terpekik’ setelah membayar jajanannya ke kasir. Seperti komentar Kompasianer Eko Nurhuda. Menurutnya, dulu di Malioboro juga demikian. Begitu juga komentar Kompasianer Mama Totik yang menuliskan bahwa di kawasan Simpang Lima Semarang juga begitu. Senada, Kompasianer Muslifa Aseani di Lombok NTB mengungkapkan hal yang sama.

Untuk lebih lengkapnya, dari 29 komentar yang muncul berkaitan dengan peristiwa di Bukittinggi itu, yang sangat antusias komentarnya ditampilkan 13 di antaranya:
1. IRWAN RINALDI: Bertanya dan berdo'alah sebelum makan.
2. RUDY GERON: Perlu instruksi Walikota tentang harga menu.
3. RIZALAMRI: Tidak sesuai syariat Islam, sebab sebelum makan harus jelas harga.
4. MARIA ANNA INDITA HERNAWATI: Pola dagang harus diubah. Investor luar bisa mengambil kesempatan.
5. SIBARBAR LOSUNG: Jangan berlebihan cari untung.
6. SEJARAWAN.ID: Jangan berlbihanlah.
7. MOHAMMAD RIZAL: Peran pemko/pemda sangat diharapkan.
8. DIAN KELANA: Keuntungan dengan 'mamakuak' haram. Tunggulah azab Allah.
9. DENINA: Bikin kapok turis.
10. EKO NURHUDA: Dulu, Malioboro juga demikian.
11. MAMA TOTIK: Simpang Lima Semarang dulu juga demikian.
12. TJIPTADINATA EFFENDI: Malu awak.
13. MUSLIFA ASEANI: Di lombok juga pernah begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun