Nah, di sinilah letak kecerdasan zaman bertemu dengan kearifan masa lalu. Di sinilah peran institusi seperti Pegadaian menjadi krusial. Mereka seolah menerjemahkan nasihat simbah saya ke dalam bahasa yang kita, kaum proletar digital, pahami.
Saya tidak sedang di-endorse (ya meskipun kalau beneran di-endorse juga alhamdulillah), tapi saya bicara dari pengalaman dan pengamatan. Pegadaian, dengan produk Tabungan Emas-nya, berhasil mendobrak tiga mitos besar tentang investasi emas:
Mitos "Harus Mahal": Dulu kita pikir beli emas harus langsung gram-graman. Sekarang? Lewat Tabungan Emas Pegadaian, kita bisa mulai menabung emas dengan nominal yang setara harga sebungkus rokok atau dua gelas es kopi susu. Mulai dari 0,01 gram, Bung! Ini mengubah total paradigma. Menabung emas bukan lagi soal "punya uang berapa", tapi soal "mau menyisihkan berapa".
Mitos "Ribet": Lupakan bayangan antre di pasar. Buka rekening, top up saldo emas, cek harga, bahkan sampai menjual atau menggadaikan emasnya, semua bisa dilakukan dari genggaman tangan lewat aplikasi Pegadaian Digital. Sambil rebahan. Sambil nungguin mi instan matang. Sambil dengerin lagu-lagu galau. Fleksibilitas ini yang kita butuhkan.
Mitos "Tidak Aman": Menyimpan emas di rumah itu was-was. Takut hilang, takut dicuri, takut terselip entah di mana. Dengan menabung di Pegadaian, emas kita disimpan dengan aman, dijamin oleh lembaga yang sudah berdiri sejak zaman kakek-nenek kita belum kepikiran untuk pacaran. Fisik emasnya ada, jelas, dan bisa kita cetak kapan pun kita mau (dalam bentuk Antam atau UBS) kalau saldo sudah mencukupi.
Pada akhirnya, ini bukan lagi sekadar soal menabung. Ini soal membangun kebiasaan. Ini soal mendisiplinkan diri dengan cara yang paling "tidak terasa". Setiap kali ada sisa uang jajan, setiap kali dapat bonus kecil, setiap kali berhasil menahan diri untuk tidak membeli barang diskonan yang tidak perlu, langsung konversikan jadi gram-gram emas kecil. Sedikit demi sedikit, bukit yang tadinya terasa mustahil untuk didaki, mulai terlihat puncaknya.
Inilah yang saya yakini sebagai esensi dari kampanye Pegadaian mengEMASkan Indonesia. Ini bukan sekadar slogan korporat yang terdengar megah. Ini adalah sebuah gerakan, sebuah ajakan untuk mengubah mentalitas. "MengEMASkan" di sini punya makna ganda. Secara harfiah, ya, mengajak masyarakat untuk punya aset dalam bentuk emas. Tapi secara filosofis, ini adalah ajakan untuk menciptakan masa depan yang lebih "emas"---lebih cerah, lebih aman, dan lebih terjamin.
Ini adalah tentang memberdayakan si penjual gorengan di pinggir jalan agar bisa menyisihkan keuntungannya untuk biaya sekolah anak. Ini tentang si pekerja lepas yang penghasilannya tidak menentu, agar punya pegangan saat sepi proyek. Ini tentang kita, para karyawan yang gajinya terasa UMR (Udah Masuk Rekening, langsung lenyap), agar punya sesuatu yang bisa dibanggakan selain postingan healing di media sosial.
Kembali ke obrolan saya dengan diri sendiri di malam hari. Setelah merenung panjang, saya tidak lagi merasa iri dengan teman saya yang pamer kunci rumah. Iri tidak akan mengubah saldo rekening saya. Yang saya lakukan adalah membuka aplikasi Pegadaian Digital, dan menyisihkan sedikit sisa uang bulan ini untuk menambah saldo Tabungan Emas saya. Mungkin hanya nambah 0,0 sekian gram. Kecil? Iya. Tapi itu adalah langkah nyata. Itu adalah progres.
Mungkin rumah impian masih terasa seperti misi ke Mars. Mungkin dana pensiun masih terdengar seperti dongeng pengantar tidur. Tapi dengan memiliki simpanan yang nilainya terjaga, setidaknya kita punya peta jalannya. Setidaknya kita punya bekal. Setidaknya, saat kita melihat saldo rekening yang menyedihkan, kita bisa tersenyum kecil sambil membatin, "Tenang, itu belum semuanya. Masih ada harta karun tersembunyi dalam bentuk digital."
Pada akhirnya, kita semua berjuang dengan cara kita masing-masing. Di tengah ketidakpastian ini, punya sesuatu yang pasti seperti emas itu rasanya menenangkan. Seperti punya sahabat karib yang tidak akan meninggalkan kita saat kita sedang susah. Dan ketika nanti, entah kapan, kita berhasil mencapai impian kita, kita bisa menengok ke belakang dan berkata, "Ini semua dimulai dari gram-gram kecil yang aku kumpulkan sambil menertawakan kerasnya hidup."
Dan itulah cara kita untuk bisa tertawa paling akhir.
Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian juga punya cerita pergulatan finansial yang sama? Atau mungkin punya tips lain untuk bertahan di tengah gempuran kebutuhan hidup? Yuk, kita ngobrol di kolom komentar. Siapa tahu, keluhan kita hari ini bisa jadi emas di kemudian hari. Wqwqwq.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI