Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Lelah Ngejar Masa Depan? Coba Pegang Emas, Bukan Janji Diskonan

5 Agustus 2025   15:48 Diperbarui: 12 Agustus 2025   16:09 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pernah nggak sih, Anda lagi enak-enaknya doom-scrolling di suatu malam yang syahdu, ditemani secangkir kopi yang mulai dingin dan sebungkus keripik singkong yang isinya angin doang, terus tiba-tiba feed Instagram kalian menampilkan sebuah mahakarya?

Bukan, bukan foto liburan teman kalian di Islandia yang bikin jiwa miskin kita bergejolak. Bukan juga video kucing lagi joget-joget. Tapi sebuah unggahan sederhana: foto kunci rumah dengan caption, "Alhamdulillah, hasil keringat sendiri. #RumahPertama."

Di momen itu, dunia seakan berhenti berputar. Hening. Keripik singkong yang tadi mau saya kunyah mendadak terasa seperti kerikil. Saya menatap layar hape, lalu menatap langit-langit kamar yang catnya sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. 

Saya tatap lagi layar hape, lalu saya menoleh ke saldo M-banking yang nominalnya lebih mirip kode OTP ketimbang jumlah uang yang bisa diandalkan untuk hidup sebulan.

Seketika itu juga, saya merasa seperti tokoh figuran di film orang lain. Orang lain sudah pada chapter beli rumah, beli mobil, mikirin sekolah anak. Lha, saya? Saya masih di chapter bingung besok mau sarapan apa dan kenapa cicilan pinjol teman saya malah ditagihkan ke nomor saya. Sungguh sebuah plot kehidupan yang penuh dengan kejutan tak terduga.

Kalau sudah begini, biasanya ada dua pilihan: 

(1) Langsung tidur sambil memeluk guling dan berharap besok pagi bangun di realitas alternatif di mana saya adalah anak tunggal dari keluarga yang punya konsesi tambang batu bara, atau 

(2) Melakukan percakapan eksistensial dengan diri sendiri, mempertanyakan semua keputusan hidup yang pernah dibuat. Saya, tentu saja, memilih opsi kedua, karena kalau memilih opsi pertama, tulisan ini tidak akan pernah ada.

Maka, dimulailah dialog imajiner antara saya dan akal sehat saya.

"Gimana ya, caranya orang-orang bisa sampai di titik itu?" tanya saya pada kehampaan.

"Ya kerja, nabung, investasi," jawab akal sehat saya dengan nada ketus, seolah saya ini baru turun dari pohon kemarin sore.

"Ya saya juga kerja, Bos! Tiap hari berangkat pagi pulang malam, kadang lupa hari, lupa tanggal, lupa kalau belum mandi. Tapi kok rasanya hidup ini seperti lari di atas treadmill? Lari kenceng, keringetan, capek, tapi nggak ke mana-mana."

Akal sehat saya terdiam sejenak. Mungkin dia kasihan. "Masalahmu itu bukan di usaha, Bro. Tapi di strategi. Kamu punya pendapatan, tapi kamu juga punya seribu satu godaan. Kamu punya niat menabung, tapi niatmu sering kali kalah sama notifikasi diskon 9.9, promo kopi susu kekinian, dan ajakan 'healing tipis-tipis' yang berakhir jadi 'boncos bar-bar'."

Saya tertegun. Sialan. Akal sehat saya benar.

Inilah semesta realitas kita hari ini, kawan-kawan. Kita hidup di sebuah era paradoks. Informasi tentang keuangan dan investasi bertebaran di mana-mana, tapi di saat yang sama, godaan untuk konsumtif juga menyerang dari segala penjuru. Kita diajari tentang pentingnya dana darurat, tapi kita juga dibombardir dengan iklan yang membuat kita merasa butuh barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Kita, generasi yang konon melek digital, ternyata sering kali gagap finansial. Kita tahu cara menghasilkan uang, tapi sering bingung cara menjaganya. Uang di rekening itu rasanya seperti air di daun talas. Datang dan pergi begitu saja, hanya numpang lewat untuk membayar tagihan, cicilan, dan sesekali mentraktir diri sendiri sebagai bentuk self-reward atas kerja keras yang hasilnya entah ke mana.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi inti di Indonesia pada bulan Juni 2024 misalnya, berada di angka 3,08% (secara tahunan). Artinya apa? Artinya, kalau kita cuma menaruh uang di rekening tabungan biasa yang bunganya sering kali nggak lebih besar dari biaya administrasi bulanan, nilai uang kita itu sebenarnya sedang digerogoti diam-diam oleh monster tak terlihat bernama inflasi. Uang Rp100.000 hari ini, tidak akan bisa membeli barang yang sama dengan Rp100.000 setahun lagi.

Lalu, kita harus bagaimana? Pasrah pada keadaan sambil terus berharap suatu saat nanti ada rezeki nomplok dari undian tutup botol? Ya, boleh saja, tapi kemungkinan menangnya lebih kecil daripada kemungkinan kamu balikan sama mantanmu yang sudah bahagia sama orang lain. Sakit, kan? Makanya, kita butuh sesuatu yang lebih nyata.

Di tengah kebingungan dan kegalauan finansial inilah, saya teringat nasihat simbah saya dulu. "Le," kata beliau sambil mengunyah sirih, "Duit kuwi gampang ilang, gampang lali. Nek nduwe rejeki luwih, tukokno emas. Bentuke ono, regane ora bakal dadi nol." (Nak, uang itu gampang hilang, gampang lupa. Kalau punya rezeki lebih, belikan emas. Bentuknya ada, harganya tidak akan pernah jadi nol).

Dulu, saya pikir nasihat itu kuno. Ketinggalan zaman. Emas? Itu kan buat ibu-ibu arisan atau juragan tanah. Apa relevansinya buat anak muda macam saya yang hidupnya serba digital dan serba cepat?

Ternyata, saya salah besar. Justru di tengah ketidakpastian ekonomi modern, kearifan konvensional seperti menyimpan emas menjadi relevan luar biasa. Emas itu seperti jangkar di tengah badai. Ketika nilai mata uang bisa terombang-ambing oleh inflasi, harga emas cenderung stabil dan bahkan naik dalam jangka panjang. Emas adalah rem paling pakem untuk gaya hidup impulsif. Coba saja, kamu tidak bisa kan, iseng scan QRIS di kedai kopi pakai emas batangan? Kamu harus melalui proses mencairkannya dulu, dan dalam proses itulah, sering kali akal sehatmu kembali dan berkata, "Nggak jadi, deh. Bikin kopi di rumah saja."

Masalahnya, persepsi kita tentang emas sering kali masih salah kaprah. Kita membayangkan harus punya uang jutaan rupiah dulu untuk bisa membeli emas batangan. Kita membayangkan prosesnya ribet, harus ke toko emas di tengah pasar yang panas dan penuh sesak.

Nah, di sinilah letak kecerdasan zaman bertemu dengan kearifan masa lalu. Di sinilah peran institusi seperti Pegadaian menjadi krusial. Mereka seolah menerjemahkan nasihat simbah saya ke dalam bahasa yang kita, kaum proletar digital, pahami.

Saya tidak sedang di-endorse (ya meskipun kalau beneran di-endorse juga alhamdulillah), tapi saya bicara dari pengalaman dan pengamatan. Pegadaian, dengan produk Tabungan Emas-nya, berhasil mendobrak tiga mitos besar tentang investasi emas:

  1. Mitos "Harus Mahal": Dulu kita pikir beli emas harus langsung gram-graman. Sekarang? Lewat Tabungan Emas Pegadaian, kita bisa mulai menabung emas dengan nominal yang setara harga sebungkus rokok atau dua gelas es kopi susu. Mulai dari 0,01 gram, Bung! Ini mengubah total paradigma. Menabung emas bukan lagi soal "punya uang berapa", tapi soal "mau menyisihkan berapa".

  2. Mitos "Ribet": Lupakan bayangan antre di pasar. Buka rekening, top up saldo emas, cek harga, bahkan sampai menjual atau menggadaikan emasnya, semua bisa dilakukan dari genggaman tangan lewat aplikasi Pegadaian Digital. Sambil rebahan. Sambil nungguin mi instan matang. Sambil dengerin lagu-lagu galau. Fleksibilitas ini yang kita butuhkan.

  3. Mitos "Tidak Aman": Menyimpan emas di rumah itu was-was. Takut hilang, takut dicuri, takut terselip entah di mana. Dengan menabung di Pegadaian, emas kita disimpan dengan aman, dijamin oleh lembaga yang sudah berdiri sejak zaman kakek-nenek kita belum kepikiran untuk pacaran. Fisik emasnya ada, jelas, dan bisa kita cetak kapan pun kita mau (dalam bentuk Antam atau UBS) kalau saldo sudah mencukupi.

Pada akhirnya, ini bukan lagi sekadar soal menabung. Ini soal membangun kebiasaan. Ini soal mendisiplinkan diri dengan cara yang paling "tidak terasa". Setiap kali ada sisa uang jajan, setiap kali dapat bonus kecil, setiap kali berhasil menahan diri untuk tidak membeli barang diskonan yang tidak perlu, langsung konversikan jadi gram-gram emas kecil. Sedikit demi sedikit, bukit yang tadinya terasa mustahil untuk didaki, mulai terlihat puncaknya.

Inilah yang saya yakini sebagai esensi dari kampanye Pegadaian mengEMASkan Indonesia. Ini bukan sekadar slogan korporat yang terdengar megah. Ini adalah sebuah gerakan, sebuah ajakan untuk mengubah mentalitas. "MengEMASkan" di sini punya makna ganda. Secara harfiah, ya, mengajak masyarakat untuk punya aset dalam bentuk emas. Tapi secara filosofis, ini adalah ajakan untuk menciptakan masa depan yang lebih "emas"---lebih cerah, lebih aman, dan lebih terjamin.

Ini adalah tentang memberdayakan si penjual gorengan di pinggir jalan agar bisa menyisihkan keuntungannya untuk biaya sekolah anak. Ini tentang si pekerja lepas yang penghasilannya tidak menentu, agar punya pegangan saat sepi proyek. Ini tentang kita, para karyawan yang gajinya terasa UMR (Udah Masuk Rekening, langsung lenyap), agar punya sesuatu yang bisa dibanggakan selain postingan healing di media sosial.

Kembali ke obrolan saya dengan diri sendiri di malam hari. Setelah merenung panjang, saya tidak lagi merasa iri dengan teman saya yang pamer kunci rumah. Iri tidak akan mengubah saldo rekening saya. Yang saya lakukan adalah membuka aplikasi Pegadaian Digital, dan menyisihkan sedikit sisa uang bulan ini untuk menambah saldo Tabungan Emas saya. Mungkin hanya nambah 0,0 sekian gram. Kecil? Iya. Tapi itu adalah langkah nyata. Itu adalah progres.

Mungkin rumah impian masih terasa seperti misi ke Mars. Mungkin dana pensiun masih terdengar seperti dongeng pengantar tidur. Tapi dengan memiliki simpanan yang nilainya terjaga, setidaknya kita punya peta jalannya. Setidaknya kita punya bekal. Setidaknya, saat kita melihat saldo rekening yang menyedihkan, kita bisa tersenyum kecil sambil membatin, "Tenang, itu belum semuanya. Masih ada harta karun tersembunyi dalam bentuk digital."

Pada akhirnya, kita semua berjuang dengan cara kita masing-masing. Di tengah ketidakpastian ini, punya sesuatu yang pasti seperti emas itu rasanya menenangkan. Seperti punya sahabat karib yang tidak akan meninggalkan kita saat kita sedang susah. Dan ketika nanti, entah kapan, kita berhasil mencapai impian kita, kita bisa menengok ke belakang dan berkata, "Ini semua dimulai dari gram-gram kecil yang aku kumpulkan sambil menertawakan kerasnya hidup."

Dan itulah cara kita untuk bisa tertawa paling akhir.

Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian juga punya cerita pergulatan finansial yang sama? Atau mungkin punya tips lain untuk bertahan di tengah gempuran kebutuhan hidup? Yuk, kita ngobrol di kolom komentar. Siapa tahu, keluhan kita hari ini bisa jadi emas di kemudian hari. Wqwqwq.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun