Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Lelah Ngejar Masa Depan? Coba Pegang Emas, Bukan Janji Diskonan

5 Agustus 2025   15:48 Diperbarui: 12 Agustus 2025   16:09 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

"Ya saya juga kerja, Bos! Tiap hari berangkat pagi pulang malam, kadang lupa hari, lupa tanggal, lupa kalau belum mandi. Tapi kok rasanya hidup ini seperti lari di atas treadmill? Lari kenceng, keringetan, capek, tapi nggak ke mana-mana."

Akal sehat saya terdiam sejenak. Mungkin dia kasihan. "Masalahmu itu bukan di usaha, Bro. Tapi di strategi. Kamu punya pendapatan, tapi kamu juga punya seribu satu godaan. Kamu punya niat menabung, tapi niatmu sering kali kalah sama notifikasi diskon 9.9, promo kopi susu kekinian, dan ajakan 'healing tipis-tipis' yang berakhir jadi 'boncos bar-bar'."

Saya tertegun. Sialan. Akal sehat saya benar.

Inilah semesta realitas kita hari ini, kawan-kawan. Kita hidup di sebuah era paradoks. Informasi tentang keuangan dan investasi bertebaran di mana-mana, tapi di saat yang sama, godaan untuk konsumtif juga menyerang dari segala penjuru. Kita diajari tentang pentingnya dana darurat, tapi kita juga dibombardir dengan iklan yang membuat kita merasa butuh barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Kita, generasi yang konon melek digital, ternyata sering kali gagap finansial. Kita tahu cara menghasilkan uang, tapi sering bingung cara menjaganya. Uang di rekening itu rasanya seperti air di daun talas. Datang dan pergi begitu saja, hanya numpang lewat untuk membayar tagihan, cicilan, dan sesekali mentraktir diri sendiri sebagai bentuk self-reward atas kerja keras yang hasilnya entah ke mana.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi inti di Indonesia pada bulan Juni 2024 misalnya, berada di angka 3,08% (secara tahunan). Artinya apa? Artinya, kalau kita cuma menaruh uang di rekening tabungan biasa yang bunganya sering kali nggak lebih besar dari biaya administrasi bulanan, nilai uang kita itu sebenarnya sedang digerogoti diam-diam oleh monster tak terlihat bernama inflasi. Uang Rp100.000 hari ini, tidak akan bisa membeli barang yang sama dengan Rp100.000 setahun lagi.

Lalu, kita harus bagaimana? Pasrah pada keadaan sambil terus berharap suatu saat nanti ada rezeki nomplok dari undian tutup botol? Ya, boleh saja, tapi kemungkinan menangnya lebih kecil daripada kemungkinan kamu balikan sama mantanmu yang sudah bahagia sama orang lain. Sakit, kan? Makanya, kita butuh sesuatu yang lebih nyata.

Di tengah kebingungan dan kegalauan finansial inilah, saya teringat nasihat simbah saya dulu. "Le," kata beliau sambil mengunyah sirih, "Duit kuwi gampang ilang, gampang lali. Nek nduwe rejeki luwih, tukokno emas. Bentuke ono, regane ora bakal dadi nol." (Nak, uang itu gampang hilang, gampang lupa. Kalau punya rezeki lebih, belikan emas. Bentuknya ada, harganya tidak akan pernah jadi nol).

Dulu, saya pikir nasihat itu kuno. Ketinggalan zaman. Emas? Itu kan buat ibu-ibu arisan atau juragan tanah. Apa relevansinya buat anak muda macam saya yang hidupnya serba digital dan serba cepat?

Ternyata, saya salah besar. Justru di tengah ketidakpastian ekonomi modern, kearifan konvensional seperti menyimpan emas menjadi relevan luar biasa. Emas itu seperti jangkar di tengah badai. Ketika nilai mata uang bisa terombang-ambing oleh inflasi, harga emas cenderung stabil dan bahkan naik dalam jangka panjang. Emas adalah rem paling pakem untuk gaya hidup impulsif. Coba saja, kamu tidak bisa kan, iseng scan QRIS di kedai kopi pakai emas batangan? Kamu harus melalui proses mencairkannya dulu, dan dalam proses itulah, sering kali akal sehatmu kembali dan berkata, "Nggak jadi, deh. Bikin kopi di rumah saja."

Masalahnya, persepsi kita tentang emas sering kali masih salah kaprah. Kita membayangkan harus punya uang jutaan rupiah dulu untuk bisa membeli emas batangan. Kita membayangkan prosesnya ribet, harus ke toko emas di tengah pasar yang panas dan penuh sesak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun