Sementara itu, Timothy, meskipun tak seprovokatif Ferry, menyempurnakan kerangka pikir tersebut. Dengan menyebut filsafat sebagai "hiasan estetika" jika tidak bisa dieksekusi, ia mengubah nilai dari berpikir menjadi semacam atribut retoris---tampak canggih, tetapi tak dibarengi kedalaman konseptual. Ini adalah bentuk instrumentalisasi nalar---di mana ide hanya dianggap berharga jika bisa berfungsi dalam pasar.
Retorika ini memanjakan zaman, tapi justru menelanjangi betapa sempitnya horizon berpikir kita saat ini. Filsafat bukan pelengkap. Ia adalah fondasi dari cara kita membedakan antara fakta dan kebetulan, antara etis dan manipulatif, antara kritik dan propaganda.
Ketidaktahuan tentang Konteks Sejarah dan Sosial
Ketika Ferry menyatakan bahwa teori Marx tidak relevan karena waktu itu belum ada bank sentral atau perdagangan internasional, ia menunjukkan kesalahpahaman mendasar. Marx bukan sedang membuat blueprint kebijakan ekonomi, tetapi sedang menganalisis struktur relasi sosial dalam kerangka historis dan material.
Bahkan dalam era ekonomi digital hari ini, gagasan Marx tentang alienasi, surplus value, dan konsentrasi kapital masih menjadi alat analisis yang hidup. Ketika pekerja gig economy bekerja tanpa perlindungan sosial, ketika algoritma menentukan harga dan produktivitas, di sanalah warisan pemikiran Marx justru menjadi penting.
Ironisnya, kritik mereka terhadap filsafat justru berangkat dari asumsi, bukan dari kajian. Mereka menuduh filsafat sebagai ilmu asumtif, tapi argumen mereka tidak pernah mengacu pada riset, literatur, atau wacana akademik yang sahih. Ini adalah bentuk double standard epistemik: menyerang keilmuan dengan senjata yang tidak ilmiah.
Filsafat Bukan Alat Jualan
Di tangan publik figur seperti Timothy, filsafat direduksi menjadi konten audiovisual yang dikemas untuk menimbulkan efek intelektual. Kutipan Descartes, istilah seperti "paradoks", dan kata-kata semacam "meta-logika" dijadikan alat pengikat atensi. Tapi di balik itu, tidak ada komitmen untuk menggali kedalaman maknanya.
Filsafat bukan estetika naratif. Ia adalah kerja batin. Meta-logika, misalnya, lahir dari kegelisahan para pemikir seperti Frege, Russell, Tarski, hingga Hilary Putnam yang mempertanyakan apakah sistem logika yang kita pakai cukup untuk menangkap kenyataan. Mereka mempertanyakan bahasa, makna, asumsi, dan bahkan kemungkinan berpikir itu sendiri.
Dengan menjadikan filsafat sekadar aksesori, kita justru kehilangan sumber daya mental yang bisa menolong kita dalam menghadapi kompleksitas zaman. Dan ketika itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan cara berpikir---kita kehilangan arah.
Apa yang Kita Butuhkan Hari Ini?
Kita hidup di zaman yang serba cepat, serba banyak, dan serba kabur. Justru karena kecepatan informasi begitu tinggi, kita membutuhkan ruang lambat untuk berpikir. Filsafat tidak akan pernah bisa bersaing dalam hal viralitas. Tapi ia memberi daya tahan: sebuah kemampuan untuk tidak langsung percaya, untuk menimbang ulang, dan untuk tetap bertanya bahkan setelah semua orang berhenti bertanya.
Kita tidak kekurangan data, tapi kekurangan arah berpikir. Kita bisa menjawab banyak soal, tapi tidak tahu apakah kita sedang menjawab soal yang tepat. Dan dalam kekacauan itu, filsafat---terutama meta-logika---menjadi lentera. Ia tidak memberi jawaban instan, tapi membantu kita merumuskan pertanyaan dengan lebih jujur.
Dalam pendidikan, dalam kebijakan, bahkan dalam pengembangan teknologi, kita membutuhkan nalar yang tidak hanya mencari solusi, tetapi juga memahami batas dari setiap solusi. Di sanalah peran filsafat hidup: bukan untuk menghambat kemajuan, tetapi untuk memastikan bahwa yang kita sebut sebagai kemajuan benar-benar membawa nilai.