Saya pernah berbincang dengan seorang influencer yang mengaku stres karena harus terus-menerus terlihat bahagia. "Aku tidak benar-benar bahagia," katanya, "tapi aku dibayar untuk terlihat bahagia."
Kita semua, tanpa sadar, adalah bagian dari teater absurd ini. Kita menonton, sekaligus ikut bermain---saling memamerkan potongan hidup yang telah dipoles, sambil diam-diam membandingkan diri dengan ilusi.
Di Bhutan, negara yang mengukur Kebahagiaan Nasional Bruto, filosofi hidup warganya menolak konsep kompetisi materialistis. Tapi bahkan di sana, media sosial mulai mengikis pandangan itu.
Mengapa Kita Tidak Bisa Berhenti? Karena Ini Candu
Membandingkan diri memberi kita dua hal: validasi ketika merasa lebih unggul, dan motivasi palsu ketika merasa tertinggal. Sayangnya, seperti narkoba, efeknya hanya sementara.
Studi neurosains menemukan bahwa saat kita melihat seseorang lebih sukses, otak kita melepaskan dua zat sekaligus: dopamin (hormon kesenangan) dan kortisol (hormon stres). Kombinasi ini membuat kita kecanduan. Kita merasa kurang, lalu scroll lebih banyak, berharap menemukan sesuatu yang membuat kita merasa lebih baik.
Saya pernah mencoba lepas dari siklus ini dengan detoks media sosial selama sebulan. Hari pertama, saya merasa lega. Hari kelima, tangan saya gatal ingin membuka Instagram. Hari kesepuluh, saya menyadari sesuatu: tanpa pembanding, saya tidak tahu apakah hidup saya cukup baik.
Ternyata, ketergantungan kita pada perbandingan sudah seperti oksigen---kita baru sadar bernapas saat kehabisan udara.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Jawaban standar biasanya: "Bersyukurlah!" Tapi mari jujur---perintah ini sering terdengar seperti obat generik yang tidak menyentuh akar masalah.
Mungkin kita harus mulai dari sesuatu yang lebih sederhana: menerima bahwa membandingkan diri adalah bagian dari naluri manusia.
Eric Weiner, dalam bukunya The Geography of Bliss, tidak pernah menyuruh pembaca berhenti membandingkan. Sebaliknya, ia mengajak kita belajar dari budaya lain. Di Islandia, misalnya, masyarakatnya hidup dengan prinsip etta reddast---yang berarti, "semuanya akan baik-baik saja."