Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Lima Keunggulan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

9 Januari 2023   11:39 Diperbarui: 17 Januari 2023   16:53 1799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu| Kompas.com/Mahdi Muhammad

Saya lebih setuju jika pelaksanaan pemilu tahun 2024 sama dengan yang sebelumnya, yakni proporsional terbuka. Maknanya, pemilih bisa mencoblos nama caleg yang ia inginkan. 

Jika pakai sistem proporsional tertutup, orang hanya cukup coblos lambang partai. Soal yang akan maju ke dewan, berdasar nomor urut.

Sejak 2009, kita sudah proporsional terbuka. Caleg di tiap partai bersaing sengit. Caleg bukan hanya bertarung dengan kandidat asal partai lain, melainkan juga dari sesama partai. 

Konon kabar, persaingan internal partai ini malah lebih sengit. Omong-omong tetangga, kadang ada kasus penggelembungan suara malah banyak terjadi untuk sesama partai.

Saya mencatat setidaknya ada lima hal keunggulan jika kita tetap menggunakan sistem proporsional terbuka pada pemilu serentak 2024. Ini berdasarkan pengalaman, juga masukan beberapa teman caleg, dan hikmah sering ikut kegiatan KPU di kota saya.

Kesatu, motivasi caleg kuat untuk jadi

Kompetisi antarcaleg akan semakin ketat jika menggunakan sistem proporsional terbuka. Mereka akan sekeras mungkin mencari suara agar ia jadi. 

Dalam konteks persaingan, tentu hal ini baik-baik saja. Kompetisi membuat kita semakin kuat, semakin inovatif, semakin cerdas untuk mencari suara. 

Setiap kandidat akan menggunakan semua ide dan gagasan cemerlang serta cara yang milenial untuk mencari suara.

Mereka yang berada di nomor urut buncit pun punya peluang yang sama untuk jadi anggota dewan. Kalau tertutup, mungkin yang bekerja hanya yang ada di urutan nomor satu dan dua.

Kotak suara. Gambar koleksi wartalampung.id bidikan Zairi
Kotak suara. Gambar koleksi wartalampung.id bidikan Zairi

Kedua, menjaga kedekatan dengan konstituen

Model proprosional terbuka memungkinkan caleg dekat dengan konstituen. Sebab, warga tidak memilih kucing dalam karung. Yang dipilih adalan kucing dalam sangkar yang bagus. 

Warga akan tahu siapa yang akan dipilih, bagaimana ia punya ide untuk membangun wilayahnya, apa gagasannya untuk kemajuan kota atau kabupatennya, dan lainnya.

Dengan sistem ini, meski rumah caleg mungkin ada di dapil lain, tapi karena masih satu kota atau kabupaten, kedekatan ini akan terjaga. Setakat ini, itulah yang saya jumpai. 

Banyak caleg yang kemudian jadi, rajin menyambangi konsituennya. Rajin menghadiri kondangan dan hajatan. Juga rajin dalam setiap acara di desa yang menjadi basis atau daerah pemilihannya.

Yang kayak begini, sulit kita temui jika pakai proporsional tertutup. Ya namanya juga sudah zaman kemajuan dan keterbukaan, masak iya mau balik ke tertutup. Badan sih boleh tertutup, tapi ide dan gagasan serta mekanisme pemilu yang mesti transparan alias terbuka.

Ketiga, mengerek suara partai

Karena setiap caleg gigih cari suara, suara partai juga serta merta naik. Mungkin yang pilih partai lebih sedikit ketimbang yang pilih caleg. Kalau itu yang kejadian, ya bagus. 

Artinya, sistem proporsional terbukanya sukses. Kalau sudah pakai proporsional terbuka masih banyak yang pilih partai ketimbang caleg, entahlah. Sudah dikasih peluang untuk berkompetisi, malahan tidak serius mencari basis massa konstituen.

Keempat, iklim kompetisi politik sehat

Proporsional terbuka juga bisa menjamin iklim politik sehat. Sehat dalam artian kompetisi berjalan dengan fair. Mereka yang usaha sungguh-sungguh dalam meraih suara rakyat, punya kans terpilih. 

Soal kemudian ada ongkos politik yang mesti dikeluarkan dari tiap caleg, itu sudah pasti. Sekarang saja untuk mengumpulkan banyak orang butuh biaya. Beli makan dan minuman dan cenderamata yang tidak melanggar aturan KPU dan undang-undang.

Di konteks ini, partai juga bisa membuka peluang kepada warga yang dinilai punya kompetensi menjadi anggota dewan untuk direkrut menjadi anggota dan dipersiapkan menjadi caleg. Adanya keterbukaan membuat iklim kompetisi makin kompetitif. 

Tidak hanya mereka yang anggota lama bisa maju, mereka yang baru tapi ada ketertarikan untuk gabung, juga diperkenankan ikut serta.

Kelima, filter untuk para kader terbaik

Dengan proporsional terbuka, besar kans kader partai maju dalam pencalegan . Tiap kader partai politik tentu akan mendapatkan penilaian dari entitas partai. 

Siapa yang dianggap layak dan punya kemampuan, dipersilakan untuk ikut kontestasi pemilu.

Ini menyebabkan adanya filter di partai untuk menyaring kader-kader terbaik. Mereka yang punya kecenderungan untuk berkiprah di politik akan diberi ruang yang luas.

Orang-orang lazim bilang, buat apa aktif di partai kalau tak ada motivasi menjadi legislator. Ujaran ini ada benarnya juga. 

Kiprah seseorang di partai politik akan terasa jika ia memiliki kedudukan di dewan. Kiprahnya akan terasa jika pegang kebijakan, atau setidaknya punya peran dalam memengaruhi kebijakan.

Tapi ada pula pendapat yang menyatakan, aktif di partai politik tak serta merta harus ke parlemen. Sebab, ada banyak peran yang bisa dimainkan di partai politik. 

Namun, jika merujuk kepada motif klasik politik tentu saja mencapai kekuasaan. Jika kekuasaan sudah di tangan, ia bisa melakukan apa yang ia kehendaki berdasar regulasi yang memperbolehkannya.

Walaupun begitu, apakah sistem proporsional terbuka ini ada kelemahannya? Tentu ada. Nantilah besok-besok saya tulis lagi. [Adian Saputra]

Foto dipinjam dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun