Mohon tunggu...
Alif Bengkok
Alif Bengkok Mohon Tunggu... -

Jika kau mendengan sesuatu yang baik tentang ku, maka itu layak diragukan... jika kau mendengar sesuatu yang buruk tentang ku, maka itu berkemungkinan benar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Drama "OJOL" Indonesia

7 Mei 2018   08:47 Diperbarui: 7 Mei 2018   09:10 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dan masih dari nilai yang saya pelajari dari SiMbah, dalam setiap lapisan dari suatu masalah ada korelasi yang berkaitan, saya sederhanakan menjadi benang merah...

Dari itu sub judul kali ini saya berinama Benang merah Vs Bawang merah...

Baik saya mulai ketika seorang anak lahir di desa, dari bayi ia menjadi balita, kemudian ia beranjak remaja, nah dimasa remajanya ini karena budaya saling memperbandingkan diri tengah merajai akal dan pemikiran kebanyakan manusia saat ini, maka sang remaja merasa iri kepada temanya yang memiliki ponsel bagus dan sepeda motor maka ia pun merajuk kepada ayah ibunya yang seorang petani untuk dibelikan ponsel dan sepeda motor, kemudian mau tidak mau mengatas namakan kasih sayang kepada anaknya yang sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah muslihat halus budaya memperbandingkan diri dengan orang lain memakai topeng kasih sayang, ya , ternyata budaya ini bukan hanya menjangkiti remaja tetapi juga anak-anak , orang dewasa maupun orang yang sudah tua secara usia, setelah beberapa kali runding palsu akhirnya sang ayah dan ibu menyepakati alibi keterpaksaan yang dikarnakan kasih sayang  kepada anak tercinta untuk menjual sebagian  tanah dan sawah mereka guna memenihi keinginan anaknya, singkat cerita.... permintaan demi permintaan sang anak tercinta berbanding lurus dengan sebagian dan sebagian lagi tanah dan sawah terus terjual hingga yang tersisa hanya sebidang tanah yang di tempati oleh keluarga mereka, sampai ketika sang anak sudah semakin beranjak dewasa dan sudah saatnya menikah maka untuk biaya pernikahan surat tanah dan rumah pun tergadai.

Si anak pun pada saatnya menjadi seorang ayah, memiliki anak dan sebagai mana adanya, kedua orang tuanya pun semakin tua dan renta, maka terdorong oleh tiadanya lagi tempat bergantung secara ekonomi maka kemudian sang ayah muda mau tidak mau harus berangkat kekota untuk bekerja dan mencari nafkah bagi keluarganya....

Sebelumnya saya ajak sedikit mendalami karakter si ayah muda, coba anda sedikit menalar lewat imaji anda masing-masing, menurut anda seberapa tinggi tingkat kecerdasan, kepintaran, inisiatif maupun kemampuan kerja seorang yang membuai diri dengan kemanjaan dan kemanjaan, saya rasa mungkin saja penilaian kita berbeda-beda , hanya apabila saya tarik garis lurus maka rasanya akan sangat mudah untuk sepakat berkata bahwa kepintaran ,kecerdasan, inisiatif dan kemampuan kerjanya dibawah rata-rata... akan tetapi s toh dia bisa naik-kelas, lulus sekolah bahkan jadi sarjana !, saya rasa hal tersebut bisa kita urai lagi sebagai bawang yang baru, karena faktanya ada sistem pencontekan terstruktur guna menyelamatkan reputasi instansi penyelenggara pendidikan( bila anda memilih berfikir negatif ) atau ada pemaksimalan kerja otak non-permanent yang di stimulus oleh insting keterdesakan menjelang ujian dan di imbangi dengan upaya-upaya seperti ikut paket les menjelang ujian ataupun kebrutalan cara belajar yang populer disebut "sistem kebut semalam" membuat kemampuan hafal dan fikir meningkat secara mendadak dan temporer ( jika anda berfikir positif ), atau mungkin bahkan koplikasi keduanya, membuat ia ataupun banyak murid berhasil melewati ujian.

Baik saya lanjutkan sebelum teralihkan fokus pada bawang yang lain yang mungkin kita bisa bahas dalam tulisan-tulisan berikutnya...

Di tengah kota besar sang ayah muda yang apa adanya ini akhirnya mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikanya, sayangnya kita tidak bisa miris dengan hal itu, karena fakta dilapangan, kehidupan kebanyakan manusia Indonesia memang demikian adanya.

Sebut saja kota besar yang dituju siayah muda ini adalah Jakarta, di sebuah kota dimana angka Rp(Rupiah) hidup layak sudah menyentuh angka Delapan juta, akan tetapi Upah rata-rata hanya di angka Tiga jutaan maka tentu saja terjadi  kesenjangan yang sederhanaya kita bisa pinjam Pribahasa " Besar Pasak daripada Tiang". Kemudian untuk mengimbangi  kesenjangan tersebut sang ayah muda mengunakan sisa waktu dan tenaganya sebisa-bisa, ia berdagang secara online dan juga menjadi driver ojek online untuk mendapat penghasilan tambahan. Dan apa yang terjadi pada sang ayah muda mengkin menjadi alternatif pilihan jawaban membadainya bisnis online dan driver online.

Sisi sisi lain...

Sebisa mungkin saya akan coba terus mengerucut, akan tetapi untuk keperluan keluasan pandangan saya juga mengajak anda menengok sisi sisi lain seperti ke manakah tanah dan sawah para petani terjual ? , tidak lain dan tidak bukan adalah kepada perusahaan-perusahaan besar yang kemudian digunakan sebagia-nya untuk membuat pabrik-pabrik dan sebagian lain tetap digunakan sebagai lahan pertanian yang dikuasai koorporasi tertentu, ya, meskipun pabrik dan lahan tetap pada tempatnya akan tetapi transaksi keuangan terpusat di Ibu Kota, sehingga putaran uang didaerah sangat kecil, hal ini juga semakin mendorong urbanisasi terus terpacu cambuk, kemudian juga kesetian pada undang-undang ketenaga kerjaan yang semakin hilang karena perundangan tertimpa peraturan Out-sourching yang diperburuk lagi dengan kegagapan menghadapi Croud-sourching sehingga bagi kebanyakan orang, menjadi karyawan tetap dengan kepastian hukum hanyalah utopia. Kemudian penghargaan sistim pendidikan yang sama sekali tidak berpihak kepada bakat dan talenta masing-masing manusia. kalaupun ada yang berhasil meraih cita-cita dan hidup dijati diri pastinya dibalik itu ada pengorbanan tak terkira yang harus dilakukan sehingga hanya mampu dicapai segelintir orang.

Kemudian saya juga beri stimulus lain, dimana  sosok anak desa diatas anda ilustrasikan sebagai anak seorang nelayan, atau mungkin anak seorang buruh atau anda rubah variabel lainya misalnya tokoh anak tadi sekarang anda pasangkan dengan orang tua yang tidak memiliki tanah sehinggga akhirnya dana yang seharusnya bisa digunakan untuk biaya pendidikanya terpakai habis oleh keinginan dan terpaksa putus sekolah, dan karena minimnya pendidikan maka sesaat setelah dia mengadari tanggung jawab keluarga ia malah lari meninggalkan tanggung jawabnya , atau variabel yang agak mendasar seperti jenis kelamin misalnya anda ganti perempuan dimana disana anda mungkin bisa menemukan alasan semakin maraknya prostitusi sampai merambah ke usia sekolah, Selebihnya saya serahkan kepada sedalam dan seluas imaji anda untuk menengok sisi-sisi lain dari ilustrasi diatas. Karena pada pemahaman saya saat ini, ada pola yang sama yang menjangkiti kebanyakan manusia hanya berbeda dalam kadarnya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun