Mohon tunggu...
Ade SetiawanSimon
Ade SetiawanSimon Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Scribo Ergo Sum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menanti Matinya Bahasa Lokal

28 Januari 2023   13:10 Diperbarui: 28 Januari 2023   13:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: masyarakat lokal Nusa Tenggara Timur (Dok. pribadi)

Dunia beberapa dekade ini rupanya sementara menata ulang ekosistem untuk tempat tinggal makhluk hidup yang mampu bertahan, perubahan ekologi dan usaha alam menyesuaikan diri menuntut masyarakat bumi mencari cara untuk mengembangkan pola baru dalam bertahan hidup. Bersamaan dengan itu pola pergerakan perpindahan masyarakat bumi selama selusin dekade telah banyak mempengaruhi perubahan ekosistim lingkungan, prilaku dan sosial kemasyarakatan. 

Pada sudut tertentu saya berpandangan bahwa perpindahan masyarakat menuntun kita pada bentuk penyeragaman  tingkah laku dan sosial, contohnya yakni pola pandang masyarakat agrarian sebagai kelompok yang dianggap tertinggal dan tradisional telah menjadi  pembanding  dari berkembangnya revolusi industri. Berkembangnya budaya masyarkat industri  telah membentuk dan menghembuskan struktur berpikir masyarakat dunia terkait dengan tradisi agraris hingga ke negara berkembang yang punya masyarakat agrikultur yang mapan hingga abad ke duapuluh. 

Para petani dan penduduk wilayah-wilayah agraris melihat kemajuan industri lebih menjanjikan masa depan ketimbang bertani dan merawat sawah warisan mereka. Perlahan namun pasti kelompok ini mulai memalingkan pandangan dan mengagumi bangunan-bangunan berbeton dengan cerobong pabrik menjulang sampai menembus cakrawala di tengah persawahan mereka, yang telah menggantikan pondok bambu beratap ilalang kering tempat petani beristirahat menikmati masakan rumahan yang dikirmkan para istri melalui kurir-kurir kecil istri, anak mereka yang sudah bisa diandalkan untuk mengantar makanan ke sawah. Sebagian dari mereka lebih mengagumi kumpulan pria dan wanita berseragam pabrik saat berbondong-bondong keluar dari pagar pabrik pada pukul lima sore selepas bunyi bel penanda jam pulang, ketimbang melihat hamparan sawah hijau berpetak sambil menikmati anak-anak mereka berlari-lari menyusuri pematangnya. Sebagian dari mereka menerima tawaran melego petak sawah dengan harga mahal untuk membeli kendaraan serta peradaban baru yang setahun kemudian akan mereka jual untuk membeli beras.

Masyarakat semakin terhimpit pada alamnya sendiri akibat dari pola perubahan dan pergerakan dimanis manusia dan peradaban. Penduduk desa dan petani kehilangan lahan hidup, menuntut mereka untuk mengadu peruntungan di tengah masyarakat Industri. Kehilangan lahan dan tercerabut dari tanah sendiri telah menjadikan masyarakat kita terasing dari kebudayaan tempat ia hidup dan dibesarkan. 

Masyarakat agraris mulia menyesuaikan dengan pola hidup dan kebudayaan baru masyarakat Industri yang dinamis serta tanpa kepastian, tidak seperti prediksi pasti musim tanam kapan menabur dan kapan menuai. Seolah  tak seperti pernah dihidupi olah tradisi masyarakat agraris, budaya industri menuntut keseragaman gerak dan waktu, keberagaman menjadi begitu sulit tumbuh pada masyarakat industri khususnya budaya dan bahasa. 

Pada budaya industri, masyarakat menuntut sebuah keteraturan, keseragaman waktu, keseragaman budaya serta memiliki satu kesamaan bahasa; Setiap individu  dipaksa menyuntik mati budaya dan bahasa warisannya dan dituntut menyesuaikan diri dengan budaya baru dan bahasa asing masyarakat industri.

Bahasa adalah jati diri, latar belakang dan karakter bagi setiap penutur yang menggambarkan identitas individu penutur bahasa tertentu, selain itu bahasa merupakan warisan berharga yang melekat pada jiwa setiap penutur serta merupakan kekayaan intelektual bagi para penggunanya. 

Bagi sebagian besar masyarakat dunia khususnya Indonesia yang telah menyesuaikan diri dengan budaya industri diperkotaan, penggunaan bahasa ibu kini tak lagi lekat dominan dalam komunikasi keseharian dan masyarakat dituntut mengadopsi budaya dan bahasa asing yang bukan milik budaya leluhur. 

Bagi penduduk wilayah perkotaan memilih bertaruh mengorbankan waktu  memburu tradisi masyarakat industri yang bersifat materi sebagai warisan untuk anak cucu ketimbang mengajarkan bahasa ibu untuk merawat kesadaran akan budaya dan akar indentitas diri. Sementara itu individu yang lebih muda memandang budaya dan bahasa lokal sebagai sesuatu yang tradisional, usang dan tak pantas untuk dipertahankan. 

Pengaruh arus asimilasi dan adaptasi terhadap budaya luar yang begitu kuat terhadap masyarakat lokal wilayah perkotaan menjadi sebab menurunnya penggunaan bahasa lokal pada ranah publik, bahkan untuk lingkup yang lebih kecil sekalipun yakni keluarga, sudah semakin sulit bagi masyarakat untuk mempertahankan atau mengajarkan penggunaan bahasa lokal pada generasi selanjutnya; berikut ini adalah beberapa faktor pendorong punahnya bahasa lokal:

  • Bahasa sebagai simbol kekuasan: Sejak peradaban manusia mulai menuliskan sejarah perjalanan suku dan bangsa di dunia, dapat kita temukan beberapa bahasa yang begitu mendominasi perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan. Bahasa Yunanai pernah menjadi bahasa komunikasi masyarakat dan bahasa pengantar ilmu pengetahuan hingga ke wilayah Asia kecil dan timur tengah yang diawali dengan pendudukan terhadap suatu kerajaan atau wilayah, dan untuk melegitimasi kekuasaan, bahasa digunakan sebagai simbol penyatuan dan pengakuan wilayah koloni atas pendudukan kerajaan-kerajaan Yunani saat itu. Hal serupa dialami oleh para pekerja paksa yang dibawah dari wilayah-wilayah di benua Afrika untuk dipekerjakan pada perkebunan di benua Amerika, para tuan dan mandor 'kulit putih' bukan saja memaksa menggati bahasa ibu setiap pekerja tetapi juga secara paksa menggantikan nama diri mereka yang lebih familir ditelinga dan lidah para pemilik lahan di benua Amerika. Sentara di wilayah Indonesia, bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa pemersatu negara dengan beraneka suku-bangsa yang bernaung didalamnya namun demikian tak melakukan pemaksaan secara radikal kepada masyarakat untuk menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun tanpa pemaksaan, menurut catatan Kemendikbud tahun 2019, sebanyak sebelas bahasa daerah di Indonesia punah atau ditinggalkan oleh penutur aslinya.
  • Pendidikan Formal: Ketika negara memfasilitasi setiap warga mengakses pendidikan dengan cara menyediakan dan membangun lembaga pendidikan formal berjenjang, dengan ketersedian fasilitas tersebut negara menuntut setiap warga yang terlibat dalam kegiatan pendidikan untuk dipengaruhi dan berpartisipasi menggunakan bahasa nasional suatu negara, dengan demikian turut memepengaruhi kesadaran masyarakat lokal dalam penggunaan bahasa lokal, seperti diterapkan kepada warga Navajo  salah satu suku asli di wilayah Amerika Utara, di mana anak-anak suku Navajo direkrut dan dikirimkan ke sekolah asrama untuk diajarkan secara eksklusif dalam bahasa Inggris.
  • Media Arus Utama: Revolusi Industri telah membuka banyak peluang bagi sektor lain terus berinovasi dalam usahanya untuk meningkatkan jumlah peminat atau konsumen untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu sektor yang terus berinovasi adalah industri media baik itu media cetak maupun media elektronik. Tak dapat dipungkiri bahwa industri media massa baik cetak maupun media elektronik merupakan agen perubahan kebudayaan masyarakat agrarian menjadi masyarakat Industri secara massif. Lewat media masyarakat dapat memperoleh informasi dalam cakupan yang sangat luas serta membantu masyarakat dalam melihat realitas, dan satu hal yang tak dapat disangkal bahwa media telah membentuk sudut pandang generasi muda dalam melihat budaya dan bahasa lokal sebagai sesuatu yang tradisional dan tidak mengikuti arus perkembangan, oleh karenanya menempatkan bahasa lokal dalam ruang lingkup yang lebih sempit lagi seperti pada perayaan adat. Maria M. Banda salah seorang peneliti aksara Lota (merupakan aksara asli yang dimiliki oleh kelompok masyarakat di wilayah NTT, hasil adopsi aksara Bugis) di wilayah kabupaten Ende berpendapat bahwa semenjak masyarakat mengenal aksara latin, para orang tua lebih memfokuskan untuk meningkatkan pengetahuan asara asing tersebut kepada anak-anaknya ketimbangkan mengajarkan aksara Lota. Sejalan dengan itu menerut pendapat para ahli minimnya perhatian pemerintah terhadap pelestarian kebudayaan menajadi kendala tersendiri terhadap lestarinya penuturan bahasa lokal. Mereka menawarkan untuk memberikan ruang bagi pengembangan kurikulum bahasa lokal seperti aksara Lota pada mata pelajaran di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun