Mohon tunggu...
Adel Kalibar
Adel Kalibar Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penyair

Menulis Membentuk Keabadian - Hidupmu adalah bait puisimu https://adelbertus88.wordpress.com/ https://www.kompasiana.com/adelbertus

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi | Menjaga Jarak dan di Rumah Saja

14 April 2020   21:25 Diperbarui: 14 April 2020   21:31 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oleh: Adelbertus

Menjaga jarak, bukan berarti kita tak cinta. Menjaga jarak, bukan berarti kita tak sayang. Menjaga jarak, bukan berarti kita berbeda Menjaga jarak, untuk semua jenis orang tersayang. Menjaga jarak justru membuat kita semakin bersatu. Negeri masih menangis dan dunia masih terluka. Air mata kini yang fana. Di atas cakrawala langit merintih dan bumi merindukan pelukkan semesta.

Menjaga jarak, bukan untuk diri sendiri. Menjaga jarak karena begitu banyak jenis orang yang dikasihi hujan yang harus ada dalam pelukan sang waktu. Jangan biarkan dunia mengambil lebih banyak lagi nyawa-nyawa kehidupan. Dengan menjaga jarak, kita menjaga keselamatan banyak jenis orang. Jangan biarkan keluarga, teman, dan orang-orang baik mengeluarkan air mata yang tak seharusnya. Kini kita hanya bisa menjaga jarak. Bukan membuat jarak itu semakin jauh adanya. Menjaga jarak, membuat kita bersatu bukan menjadi pecah bagai piring-piring kaca yang di lemparkan tuannya dengan tanpa sengaja.

Menjaga jarak karena cinta. Menjaga jarak untuk Indonesia. Dengan menjaga jarak, negeri semakin bersatu melawan tagis dan air mata. Menjaga jarang bukan berarti tak sayang. Menjaga jarak karena kita saling cinta. Masih banyak jenis orang tak bisa menjaga jarak, mungkin mereka tak suka adanya jarak. Akupun tak suka adanya jarak di antara kita. Namun jangan biarkan cinta terbentang jarak. Di hati tetap kita bersatu tak sedikitpun jarak terlihat.

Banyak cerita di balik becana, banyak dilema Covid-19, banyak tangis dan air mata tumpah bersama. Banyak sumbangan di mana-mana, di jalanan dan dari rumah-ke rumah. Banyak jenis orang bergantung pada pemerintah dan orang-orang kaya. Mereka terus menjadi penghuni jalan yang setia. Menunggu rezeki di tengah bencana dan memunguti doa-doa yang tak pernah kusam seperti hidup mereka. Mereka tak bisa di rumah saja. Mereka tak takut dengan Corona, apalagi Covid-19, dan Covid- berapapun itu. Mereka lebih takut jika anak-anak mereka dan keluarga kelaparan. Suara-suara itu mungkin sudah di kemas rapi oleh pemerintah negeri.

Masih banyak jarak yang belum di jaga, karena begitulah adanya. Beberapa Negara di dunia juga menjaga jarak karena mereka saling mencintai. Namun seluruh dunia masih pusing kepala. Ada begitu banyak jenis orang sudah sadar akan menjaga jarak, namun beberapa jenis orang lainnya harus di paksa menjaga jarak. Masih banyak yang berkumpul dan harus di bubarkan. Ada juga yang diam-diam kabur dan melangar kebijakan.

Sudah banyakah rencana untuk berkumpul kembali, untuk liburan, cangkir-cangkir kopi sudah menunggu tuannya di warung-warung kopi. Gelas-gelas kaca yang haus penuh diam dan tetap menjaga jarak. Simpanlah semua rencana baik itu untuk nanti di mana waktu kita bisa berkumpul kembali, bertemu kembali, di mana nanti ada canda tawa untuk saling mencaci maki seperti dulu lagi.

Di rumah saja, kata-kata yang lembut dan tenang. Ada yang sudah tenang di rumah saja, dan masih banyak tak bisa di rumah saja, bahkan ada yang tak punya rumah. Yang tak bisa di rumah saja karena tangisan dan teriakan mungkin tidak terlalu keras yang keluar di balik tembok rumah mereka. Mereka menyeret nasib mereka di jala-jalan kota. Terkadang tersandar di bawah pohon-pohon rindang menunggu keajaiban datang. Mereka adalah orang-orang hebat. Bahagialah yang bisa di rumah saja dan tetap menjaga jarak, menikmati layar televisi bercerita dan berbagi rasa.

Hati yang gembira adalah obat melawan Corona. Apakah semua bisa bergembira.? Yang sudah gembira hatinya, mari bisa berbagi cinta agar hati yang belum gembira bisa menjadi gembira. Masih banyak jenis orang yang hatinya rapuh dan jauh dari kata gembira. Sekarang bumi tak hanya menyerap hujan, namun kini menyerap air mata dari hati yang menagis. Menguburkan sedih dan jiwa yang terluka, bukan jenazah. Hujan berderai menemani di rumah saja. Di cakrawala langit masih mengukir kisah di balik bencana yang tak kunjung selesai. Karena hidup juga tak akan selesai.

Berita tumpah, pecah, dan mengalir setiap hari. Kasus meningkat, yang di sembuhkan banyak, namun kematian juga bertambah. Bagaimana hati bisa gembira? Perasaan beradu antara sedih dan senang. Sementara, biarlah air mata dan hujan berbicara. Berharap derai hujan malam ini bisa perlahan menghanyutkan semua air mata dan luka tak berbekas, serta seluruh wabah bencana. Menunggu bulan purnama tersenyum kembali dan bintang-bintang bersinar lagi. Bumi kembali tersenyum bersama semesta.

April 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun