Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Semiotika Puisi Sapardi Djoko Damono*

6 September 2022   21:54 Diperbarui: 6 September 2022   21:58 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sapardi Djoko Damono | Sumber: Indonesia Kaya 

Kajian Puisi Hujan Bulan Juni

Tema sentral puisi ini adalah hujan. Merujuk semiotika Pierce, kita dapat melihat dengan amat jelas posisi diksi hujan menempati inti objek dari keseluruhan puisi Hujan Bulan Juni. Dari diksi hujan ini, Sapardi Djoko Damono kemudian merepresentasikannya sebagai sesuatu yang terkait dengan sifat tabah, bijak, dan arif. Di sini diksi hujan telah mengalami representemen berdasarkan sifat kualitasnya (qualisign). Memang, hujan identik dengan kelebutan, yang berarti juga ketabahan, kebijakan, dan sifat arif dari alam.

Kemudian, setelah hujan dibawa sedemikian rupa sebagai representemen dari sifat-sifat luhur di atas, Sapardi Djoko Damono perlahan-lahan "menuntunnya" ke dalam pemaknaan (interpretant) yang relevan dan sangat menyentuh, dengan bait-bait---yang terkesan amat naif---seperti: dirahasiakannya rintik rindunya / kepada pohon berbunga itu; dihapusnya jejak-jejak kakinya / yang ragu-ragu di jalan itu; dan dibiarkannya yang tak terucapkan / diserap akar pohon bunga itu.

Tampaknya, melalui puisi Hujan Bulan Juni ini Sapardi Djoko Damono tengah mengasosiasikan qualisign lebut yang diwakili oleh diksi tabah, bijak, dan arif dengan kata-kata seperti rahasia, ragu-ragu, dan pembiaran. Kebijakan memang penuh dengan misteri, kerap kali tampak meragu, dan identik dengan kepasrahan (membiarkan segala sesuatu terjadi sesuai takdirnya). Sebagaimana hujan, kehidupan (dan terutama sekali cinta) merupakan bagian dari siklus alamiah yang mesti disikapi dengan ketabahan, kebijaksanaan, dan kearifan. Begitulah kira-kira narasi besar yang coba disampaikan oleh Sapardi Djoko Damono melalui puisi Hujan Bulan Juni ini.

Kajian Puisi Pada Suatu Hari Nanti

Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Begitu kira-kira ungkapan populer dari Pramoedya Ananta Toer. Setali tiga uang dengan Pram, orang Jerman memiliki pepatah: "dengan menulis, kau abadi" (Arif, 2017). Temuan-temuan arkeologi juga mengungkapkan fakta bahwa tulisan-tulisan (yang meliputi syair dan sebagainya) dari para penulis kuno yang telah lama mati masih dapat ditemukan dan dibaca hingga hari ini (Baez, 2013).

Berbeda dengan jasad yang lekas rusak dan mati, sajak---yang dituliskan---berumur panjang (kalau bukan dikatakan abadi). Artinya, sajak lebih berdaya-hidup dari penulisnya itu sendiri. Dari perspektif ini, puisi Pada Suatu Hari Nanti menjadikan "sajak" sebagai objek utama yang---jika dikaji dengan semiotika Pierce---dipandang sebagai simbol keabadian, suatu yang menjadi konsensus tak tertulis dalam kemanusiaan dan dalam sejarah.

Simbolisasi sajak sebagai objek yang direpresentasikan abadi dalam puisi Pada Suatu Hari Nanti secara jelas terdapat dalam ketiga baitnya. Satu contoh pada bait pertama: pada suatu hari nanti / jasadku tak akan ada lagi / tapi dalam bait-bait sajak ini / kau takkan kurelakan sendiri. Ketika jasad tidak ada lagi, penulis tetap menemani subyek "kau". Sang pujangga tak pernah mebiarkan "kau" sendiri, maka bait-bait dalam sajaknya yang abadi akan senantiasa menemani. Simbolisasi tersebut terus diulang dan dapat kita pastikan signifikansinya pada bait kedua dan ketiga.

Kajian Puisi Aku Ingin

"Cinta yang sederhana", merupakan tema sentral dalam puisi Aku Ingin. Objek-objek yang digunakan sebagai ungkapan dalam puisi ini meliputi: bait pertama, yaitu kayu-api-abu; dan bait kedua, yaitu awan-hujan-ketiadaan. Ketiga kata pada masing-masing bait itu, dalam semiotika Pierce, termasuk ke dalam golongan indeks, dimana ketiganya memiliki hubungan kausal (sebab-akibat). Kayu menjadi abu sebab dibakar oleh api, manakala awan menjadi tiada disebabkan hujan.

Secara implisit melalui puisi Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono berusaha mengungkapkan bahwa sejatinya, cinta yang paling sederhana ialah cinta yang justru paling tidak sederhana. Di mana cinta yang sederhana tidak pernah bersifat transaksional (berorientasi keuntungan), malah bersifat pengorbanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun