Mohon tunggu...
Ade Hidayat
Ade Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar - Pembaca

Membaca - Mengajar - Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Wabah

15 Juni 2021   11:34 Diperbarui: 18 Juni 2021   21:04 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di klinik, setelah melakukan diagnosis, seorang dokter perempuan paruh baya memberikan resep obat. Yang aku kenal hanya paracetamol dan vitamin. Dokter berpesan agar Mel beristirahat total dan jangan keluar rumah untuk beberapa hari ke depan. "Jika kondisi memburuk, segeralah ke rumah sakit. Mudah-mudahan kamu lekas sembuh," ucap dokter itu bersimpati.

"Aku akan sembuh, Dok. Aku akan menikah Minggu besok," kata Mel yakin.

"Oh, ya? Kalian berdua calon pengantin? Undang saya kalau besok sudah membaik, ya." Dokter itu sambil mengusap paha Mel yang masih duduk di meja periksa.

Esoknya kami tidak bisa memenuhi janji kami kepada dokter itu. Meski panas tubuhnya menurun dan demamnya mereda, kata ibunya, Mel masih sangat lemah. 

Sengaja sejak ke klinik itu aku tidak menemuinya lagi. Kalau aku berada di sana bersamanya, Mel akan terganggu dengan kehadiranku dan sulit untuk fokus beristirahat. Di rumah aku hanya berdoa, dan mengontrol perkembangan Mel lewat keluarganya.

22 Maret 2020...


Kepalaku jadi pening karena cuaca siang ini berubah sangat drastis. Tadi pagi langit cerah dan lumayan terik. Tetapi langit mendadak mendung tak berapa lama setelah aku shalat zhuhur. 

Belakangan cuaca yang tidak nyaman seperti ini mulai sering terjadi. Padahal, siang ini mestinya aku ke Menteng untuk menemui EO yang mengurusi resepsi penikahanku dengan Mel. Aku ingin membahas rencana penundaan pernikahan kami. Itu skenario terburuk. Tidak mungkin kami nekat melangsungkan resepsi pernikahan sementara pengantin perempuannya sedang sakit.

Akhirnya hujan turun amat deras. Aku pun urung membahas penundaan itu.

Sepertinya hujan siang ini menyiram seluruh Jakarta. Aku termangu di beranda rumah. Tampias hujan meniup kakiku yang jari-jarinya mulai pucat. Suara hujan yang menggulung udara membuat aku semakin prihatin kepada calon pengantinku itu. Aku disergap perasaan rindu sekaligus iba. Di saat yang menentukan begini, mengapa perempuan seulet dan seceria Mel itu sakit dan berlarut.

Aku masuk kamar, lalu aku menelepon ke rumah Mel. Di ujung telepon, ibunya bilang Mel ingin melihat aku. Tidak mungkin sekarang, kataku. Sedang hujan lebat. Lagi pula Mel perlu istirahat. Mel bersiteguh. Aku pun luluh. Lewat panggilan video kami saling bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun