Ruang sidang seharusnya menjadi panggung tertinggi dari akal sehat hukum dan etika profesi. Namun akhir-akhir ini, publik justru dipaksa menyaksikan betapa bobroknya penegakan hukum di Indonesia, salah satunya melalui kasus yang menimpa Nikita Mirzani. Hakim menolak memutar bukti, jaksa bersikap tidak proporsional, dan terdakwa diperlakukan seperti pesakitan bahkan sebelum vonis dijatuhkan. Kericuhan yang terjadi pun membuat suasana ruang sidang menjadi tak terkendali dan sangat memprihatinkan. Semuanya menyisakan pertanyaan besar: apakah etika benar-benar telah ditinggalkan dari meja hijau?
Pengadilan bukan hanya berfungsi sebagai institusi penjatuh hukuman, tetapi juga sebagai penjaga martabat hukum-tempat di mana fakta dan bukti ditimbang dengan akal sehat dan nurani. Etika dalam ruang sidang bukan sekadar hiasan; ia adalah fondasi tak tertulis yang membuat proses hukum dapat dipercaya. Namun ketika ruang itu berubah menjadi arena yang dipenuhi arogansi, intimidasi, bahkan kesewenang-wenangan, maka yang terciderai bukan hanya individu, melainkan wibawa peradilan itu sendiri.
Dalam salah satu persidangan kasus dugaan pemerasan dan TPPU yang menjerat Nikita Mirzani, kuasa hukum terdakwa meminta agar majelis hakim memutar sebuah rekaman suara yang diklaim sebagai bukti penting. Rekaman tersebut disebut-sebut berisi percakapan yang menunjukkan dugaan intervensi terhadap proses hukum, bahkan menyentuh institusi penegak hukum. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan bahwa persidangan masih berada di tahap eksepsi, bukan pemeriksaan pokok perkara, sehingga pengajuan alat bukti dianggap belum relevan pada tahap tersebut.
Secara prosedural, alasan tersebut dapat dibenarkan. Proses peradilan memang memiliki tahapannya. Namun dalam konteks ini, publik menilai bahwa dari sisi etika, penolakan tersebut terkesan dingin dan kaku. Penegakan hukum semestinya tidak hanya bergantung pada tahapan formil, tetapi juga pada sensitivitas terhadap nilai-nilai keadilan substantif.
ETIKA ADALAH PILAR YANG TAK BOLEH RUNTUH
Masih dalam sidang yang sama, Nikita Mirzani tampak sangat emosional. Ia memutar rekaman itu sendiri setelah hakim meninggalkan ruang sidang. Tindakan tersebut menyiratkan bahwa jika keadilan tidak mau mendengar, maka terdakwa akan berteriak sendiri. Miris. Sungguh sangat miris.
Momen itu menyisakan pertanyaan yang menyayat: di mana hilangnya rasa hormat pada penegak keadilan? Apakah memang wibawa penegak hukum di mata masyarakat sudah benar-benar hilang?
Dalam persidangan yang sama pula, jaksa membalas tindakan tersebut dengan respons yang tak kalah arogan. Bukankah hakim, jaksa, dan kuasa hukum adalah wajah dari peradilan itu sendiri? Etika mereka adalah napas keadilan. Ketika seorang jaksa bersikap keras, sinis, bahkan dianggap merendahkan terdakwa secara verbal dan ketika majelis hakim seolah bersikap pasif terhadap perlakuan itu, maka pengadilan kehilangan martabatnya.
Hukum tanpa etika adalah kekuasaan yang kehilangan arah. Dan ruang sidang tanpa empati hanya akan melahirkan trauma baru, bukan keadilan.
PUBLIK GERAM, LEMBAGA YANG TERANCAM