Mengapa kau harus berada di sini? Apakah kau tega menganggu kenyamanan kami, Â setelah sekian lama berumah tangga? Kau hadir dengan membawa keburukan, melontarkan sebuah sebuah drama kehidupan tak penting ala-ala drama Korea.
       Kami sudah mencoba menghindarimu, namun kau tetap kukuh mengikuti dengan segala daya upaya yang menjengkelkan.
"Cukup sampai di sini kau menggantungkan hidup pada kami. Biarkan kami menikmati kehidupan dengan tenang tanpa harus mendengar segala rengekan manjamu setiap hari." Kataku mencoba menahan diri untuk tidak naik pitam.
"Ada apa dengan kalian? Mengapa merasa terganggu dengan kehadiranku?" Ia malah bertanya balik kepadaku.
"Mengapa kau tak segera sadar. Hidupmu menjadi beban bagi kami. Kau bukanlah orang tua, bukan pula anak-anak, bahkan cucu-cucu kami. Kau hanyalah 'kenalan kami' yang setiap hari bermanja pada harta-harta. Tidak hanya itu, kau bahkan menggantungkan hidup pada kami dengan kemalasan."
Kau terdiam, masih memikirkan sebuah seribu alasan untuk mengelak. Sayang, semua jawaban yang terlontar pada mulutmu adalah kedunguan.
"Aku... Hanya ingin hidup nyaman tanpa harus bersusah payah mencari nafkah." Katamu tanpa merasa berdosa.
"Tidak bisa seperti itu! Semua makhluk ciptaan Tuhan, termasuk seekor monyet akan bersusah payah mencari makan di ladang. Apa derajatmu lebih rendah daripada seekor monyet?"
"Ya tak mengapa aku seperti monyet, namun aku tetaplah manusia meski lebih buruk darinya. Jika boleh memilih, aku ingin menjadi monyet yang dipelihara manusia sepertimu."
Kau beranjak pergi ke kamar, tertidur lelap di rumah kami. Aku yang tak tahan dengan kelakuanmu segera kutelpon polisi agar segera meringkusmu dengan dalih telah mengganggu kententraman rumah tangga kami. Sambil bersungut aku berkata:
"Kali ini kesabaranku telah habis dilalap api amarah."