Kata tokoh-tokoh agama, Al Qur'an adalah buku induk pengetahuan. Mencakup semua ilmu, dari awal mula terbentuknya alam semesta hingga proses penciptaan manusia. Semua ada, sayang kebanyakan pemustaka tak tahu dan tak mau tahu. Mereka menjadikan buku-buku lain sebagai kitab suci ilmu pengetahuan, tanpa mau kembali mempelajari dan merenunginya barang sedetik pun.
Begitu pula dengan para pustakawan dan pustakawati, tumpukan Al Qur'an sobek dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan khusus. Mereka biarkan semua itu membusuk bagaikan mayat di alam kubur, sedikit demi sedikit hancur dimakan cacing tanah, lalu tak tersisa kecuali tulang-tulangnya.
Bagi mereka, biarlah semua itu hancur di makan rayap tak tersisa agar segera diganti dengan buku-buku lain yang kekinian. Fenomena itulah yang terjadi di perpustakaan itu. Al Qur'an menjadi pajangan semata, bukan sebagai sandaran utama bagi manusia.
*****
Aku... Seorang manusia yang fakir akan ilmu, mencoba menyelami sebuah pengetahuan dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain, khususnya perpustakaan itu. Hampir semua buku kupinjam, lembar demi lembar kubuka, juga kuserap semua ilmu tanpa ada yang tersisa. Sedang Al Qur'an di tepian, belum pernah kupinjam barang sekali pun, apalagi kubaca hingga selesai.
Siang itu, kusentuh Al Qur'an yang berada di tepian. Kuusap lembut bagian luarnya, di sana tertulis "Al Qur'an Al Karim". Hatiku bergetar seketika saat menyentuh tulisan itu, terasa jelas bahwa aku tak pernah mendalaminya, jangankan mendalami, membacanya pun masih terbata-bata.
Aku menjadi sadar bahwa sebanyak apa pun buku yang kubaca, tak akan sebanding dengan membaca Al Qur'an. Dari aspek keutamaan hingga aspek pengetahuan. Aku benar-benar lalai, menganggap bahwa buku lain lebih baik darinya.
Hatiku amat teduh tatkala membuka lembar pertama dalam Al Qur'an. Di sana tertulis 99 nama Allah, mulai dari Ar Rahman hingga As Shabuur. Ibarat sebuah tanaman kering yang hampir mati tak pernah tersiram air hujan, ketika air dari langit mulai membasahinya, seketika itu kesempatan untuk hidup kembali hadir.
Begitu pula diriku yang amat hina ini, benih-benih kehidupan sejati bermunculan kembali setelah sekian lama tertatih dalam kubangan dosa karena telah mengabaikan firman-firman-Nya dalam kitab suci. Tanpa sadar, kubuka halaman kedua, bibir ini lirih membaca:
"Bis...millaahir rah...ma...nirra...him."
Secara terbata kata indah itu keluar. Kucuran air dari kelopak mata membasahi pipi kanan dan kiriku. Aku benar-benar sedih, mengapa tak kubuka dari dulu, sehingga kini bisa menghafal, mempelajari, dan mengamalkannya.