Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Terpidana: Anak Dipangku Keponakan Dibimbing

16 September 2016   00:10 Diperbarui: 1 Maret 2017   20:00 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilkada Terpidana - AdApixel

 “Anak dipangku kamanakan dibimbing, urang kampuang dipatenggangkan, tenggang nagari jan binaso.” –sebuah peribahasa lama masyarakat Minangkabau ini kiranya tepat menggambarkan konsep keadilan yang tak membeda-bedakan siapapun di mata hukum. Bahwa butir-butir aturan yang tidak sesuai dengan hati nurani tidak layak untuk dimunculkan apalagi dijalankan, karena hanya akan menimbulkan perpecahan di masyarakat.

Rasa keadilan masyarakat terganggu manakala hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama Kemendagri, KPU, dan Bawaslu, menghasilkan rekomendasi revisi atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah yang mengijinkan keikutsertaan terpidana hukuman percobaan dalam Pilkada.

Jika tidak terpikir bahwa hukum telah sengaja dipelintir, maka dapat dilihat bahwa Komisi II DPR telah mendangkalkan pikiran dalam menerjemahkan hukum. Komisi berasumsi bahwa dalam pidana percobaan, hanya karna si terpidana tidak menjalani hukumannya di dalam penjara, tidak termasuk sebagai sebuah hukuman.

Hingga berlanjutlah asumsi tersebut dengan pemikiran, karena ‘tidak ditahan’ dan putusannya belum inkracht(berkekuatan hukum tetap), maka terpidana hukuman percobaan tidaklah termasuk ke dalam kategori terpidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU No.10/2016 tentang Pilkada, yang mengatur persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon yang maju dalam Pilkada.

Pasal 7 ayat (2) huruf g, berbunyi:
tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

Asumsi komisi tersebut tentu saja tidak benar, sebab vonis percobaan adalah inkracht jika pihak berperkara tidak melakukan upaya perlawanan hukum, seperti permohonan banding atau kasasi. Inkracht tidak ditentukan oleh selesainya masa hukuman, juga tidak didasari dengan ditahan atau tidaknya si terpidana dalam menjalani hukuman.


Siapa bermain mata?

Peraturan KPU dibuat oleh KPU setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang keputusannya bersifat mengikat. Demikian hal ini diatur dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada.

Pada awalnya KPU berkeras tidak memberikan kesempatan bagi terpidana hukuman percobaan untuk maju sebagai calon dalam Pilkada. Namun kemudian dengan memakai klausul “keputusan RDP bersifat mengikat” pada Pasal 9, akhirnya menerima rekomendasi DPR tersebut.

Ada apa gerangan, mengapa akhirnya KPU melunak? Sedangkan KPU semestinya konsisten menolak usulan DPR. Jika KPU menolak, sesungguhnya tidaklah melanggar ketentuan Pasal 9 sebagaimana dalih yang diutarakan KPU. Hasil RDP memang mengikat, namun yang mengikat adalah hasil atau kesimpulan rapatnya. Sedangkan usulan yang muncul dalam forum tersebut tidaklah otomatis mengikat untuk harus disetujui atau dilaksanakan.

Dengan rumusan tersebut, KPU tetap dapat menolak usulan DPR. Sehingga sangatlah mungkin kesimpulan forum semestinya adalah menolak usulan Komisi II DPR yang mengharapkan terpidana hukuman percobaan dapat menjadi calon dalam Pilkada. Peraturan KPU dapat langsung dilaksanakan tanpa revisi.

Hukum yang Dicita-citakan

Dalam konsep politik hukum dan kontrak sosial, hukum berkaitan dengan kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang. Kewenangan untuk menetapkan peraturan-peraturan, yang bukan hanya untuk melindungi kepentingan segelintir golongan, partai, ataupun penguasa. Kebijakan negara mestilah membawa ruh kebajikan, karna mengekspresikan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan (ius constituendum).

Di saat hukum hanya dilihat sebagai teks dari pasal-pasal tanpa menggubris norma dan cita-cita pembentukannya, maka pasal tersebut akan menjadi peluru yang membunuh tuannya sendiri, yakni masyarakat yang mendamba keadilan. Maka menjadi naif jika usulan Komisi II DPR tersebut didorong dengan mengangkat kredo ‘hukum harus tetap ditegakkan’, padahal diakui telah bertentangan dengan harapan masyarakat untuk memiliki kepala daerah yang berkualitas, bersih dan tak tercela di mata hukum.

Mengeja kata ‘tercela’, penulis tertarik untuk melihat selengkapnya Pasal 7 yang telah ‘mengganggu rasa’ para pihak yang kukuh mengusulkan revisi peraturan dimaksud. Jika huruf g pasal tersebut menolak terpidana, bagaimana kiranya dengan huruf i yang menyebutkan: “tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”?

Kiranya ‘perbuatan tercela’ yang disebut pada pasal 7 ayat (2) huruf i menguatkan klausul ‘terpidana’ yang diatur oleh huruf g. Menjadi logis dengan akal sehat bahwa terpidana, apapun status pidana dan jenis hukumannya, semestinya tidak akan lolos sebagai persona yang tidak tercela di saat mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Sebuah ungkapan dalam masyarakat Batak yang biasa diucapkan saat penyelesaian perkara: “Tapor panasandian ni gondang, tula hasohotan ni gora – jika gong pecah, pesta pun berakhir, kalau orang sudah berpisah, perkelahiain pun usai.”

Namun tidak demikian dengan pesta demokrasi lokal ini. Jika kebuntuan politik terus saja mengutamakan kepentingan pragmatis, maka ucapan Wakil Ketua Komisi II DPR RI dapat dikembalikan lagi pada yang bersangkutan, “Sehingga apa boleh buat, hukum tetap harus kami tegakkan..” Maka demi tegaknya keadilan, atas Keputusan KPU yang meloloskan terpidana hukuman percobaan, judicial review adalah jalan untuk mencapai pemilu yang bersih dan bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun