Mohon tunggu...
Achnes Choirun
Achnes Choirun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menggapai Dunia

19 Maret 2017   09:39 Diperbarui: 19 Maret 2017   10:10 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Garis merah terbentang luas di hadapanku, tepatnya di depan mataku. Aku terdiam, apa yang harus kulakukan. Haruskah maju? Mundur? Ke samping? Atau menerjangnya? Suatu pilihan hidup yang harus dipilih seorang gadis yang belum baligh umurnya (masih kecil). Hembusan angin seakan menghempas tubuh ini. Membuatku terpental dan terlempar jauh. Keringat merah berlomba lomba ingin melepaskan diri. Aku takbisa mencegah kebebasan mereka. Aku takpunya kuasa untuk memperdaya mereka. Mungkinkah ini yang dikatakan nasib? Tiada lagi yang membasahi raga ini. Mulai mengering dan terombang ambing mengikuti jalannya sang bayu. Tak ada makna siang di hidupku., seperti terkurung di dalam gua dengan ditemani kelelawar, cacing, dan sapuan sensitif angin yang kadang menampar ragaku. Hanya secerca cahaya yang menemani heningnya sepiku.

Aku, gadis yang cukup belia untuk mengenal arti hidup ini. Hidup yang penuh dengan kata pilu sudah menjadi teman sejati baginya. Tanah panas nan tandus tempatnya mengeluh dan menangis adalah hidupnya. Hanya selembar kulit tipis yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Detak jantungnya bergantung nafasnya, aliran darahnya akan bergantung pada detak demi detak jantungnya, dan menghela nafas olehnya entah kapan akan terjadi.

Perjalanan hidup Aku memang cukup berliku; dari tikungan tajam, tikungan biasa, atau tikungan berantai sudah mahir olehnya. Tidak hanya sekali dua kali, tapi tikungan itu sekan menyertai di setiap langkah kakinya. Jalan jalan terjal itu setiap detik ia lalui. Hatinya sudah cukup ditempa untuk itu.

Kasih sayang tidak pernah dirasakannya selama ia hidup. Bahkan merasakannya, mengenal pun tidak pernah. Hidupnya dipenuhi dengan perjuangan. Hidup di dalam kantong plasik merah bermodal selimut tipis saat pertama kali ia merasakan atmosfir dunia. Untung saja tiada orang yang membuang atau membakar rumah kecilnya itu. Suara tangisan yang seharusnya terlontar dari mulut mungilnya, tiada satu pun yang terdengar. Bagaimana mau menangis, mau menutup mulut saja sungguh sulit. Andai bisa dicabut rotan yang membujur di dalam rahang. Mungkin seseorang akan mendengar curahan hati sucinya. Tetesan tetesan asi atas belas kasihan Tuhan yang mengisi kekosongan perutnya. Hanya itu yang bisa menghidupinya.

Atmosfir panas, penuh gumpalan awan hitam. Terik matahari sungguh tega membuatnya mongering. Suara suara bising yang berlalu lalang selalu mengganggunya. Gerombolan orang tidak tahu diri menepakkan kaki raksasanya secara cepat dan keras. Sontak ini membuatnya meloncat loncat di atas tanah gersang dan cokelat.

“Sungguh, salah apa aku, Tuhan? Apa yang telah aku lakukan? Di hari dimana yang seharusnya aku menghirup suasana dunia yang katanya segar, aku seakan tergelincir ke alam neraka-Mu.” Desis gadis miris itu, jika dia bisa melakukannya.

Dentuman dentuman yang mengguncang raganya semakin keras. Hujan air berubah menjadi rangkaian tanah, pasir, dan kerikil. Haruskah dia lari? Siapa yang akan membawanya?

Keringatnya semakin mencucur dengan deras, hampir memenuhi rumah kecilnya. Napasnya terengah engah, seakan oksigen bersih engan untuk masuk kembali. Namun Tuhan berkehendak lain. Tiada alasan lagi baginya untuk memainkan aksi aksi jahilnya. Yaah, inilah takdir yang telah ditetuntukan untuknya.

Tangan tangan mungil yang seharusnya memegang erat jari telunjuk keturunannya. Kini, jari jari itu telah terisi oleh debu dan ranting. Suara bacaan Al-Qur’an yang ingin ia dengarkan lagi kini etah ke mana perginya. Sentuhan tangan tangan lembut yang dulu ia rasakan, ke manakah kini? Semuanya menghilang. Mereka meninggalkannya seorang diri.

---                                                                                                                     

“Huggkk”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun