Mohon tunggu...
Achmad Syujai
Achmad Syujai Mohon Tunggu... Guru - pesantrennuris.net

Penulis adalah alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jember. Saat ini penulis bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di SMK NURIS Jember dan pembina jurnalistik di lingkungan Yayasan Nurul Islam, Antirogo-Jember. Selain mengajar, penulis juga aktif berkarya bersama grup musikalisasi puisi “Selimut Dingin” Jember.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kisah Guru Bahasa Indonesia yang Menjadi Polisi Facebook

25 Juli 2019   09:00 Diperbarui: 25 Juli 2019   10:27 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berulang kali saya katakan kepada siswa saya bahwa saat ini kita sedang menghadapi era kecepatan informasi. Saat ini, kita tidak perlu lagi menunggu sampai beberapa hari untuk bertukar informasi, atau menghemat kuota sms gratisan untuk mengirimkan kabar kepada sanak saudara yang jauh. 

Cukup dengan adanya kuota internet atau nongkrong di tempat yang terjangkau wifi, kita dapat saling berkirim pesan, gambar, video, dan sebagainya yang pada masa sebelumnya hanya bisa dilakukan menggunakan perangkat komputer. Tidak hanya itu, tempat untuk mengakses informasi itu pun tak sebebas saat ini, di mana semua orang dapat melihat apapun di internet.

Salah satu yang menjadi sorotan saya dalam pesatnya perkembangan internet saat ini adalah peran guru, terutama guru bahasa dalam menghadapi revolusi industri 4.0.

Saat ini, informasi apapun dapat kita akses dengan mudah. Setelah ditemukannya telepon pintar, seolah-olah dunia ada dalam genggaman. 

Beberapa istilah muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang kian cepat. Salah satu yang saya soroti kali ini adalah istilah viral.

Sebelum adanya revolusi industri keempat ini seorang yang sedang membaca novel, akan mendapatkan pelajaran atau nilai-nilai berdasarkan pemahamannya sendiri. 

Biasanya mereka menandai beberapa kalimat atau kata yang menurut mereka menginspirasi. 

Misalnya saja salah satu kalimat andalan yang ada di novel legendaris Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi, "Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam pebuatan."

Pertanyaannya adalah apakah semua orang setuju dengan dijadikannya kalimat di atas sebagai andalan dari novel Manusianya Pram?

Oke. Kita bisa saja setuju bahwa kalimat itu penting, kaya makna dan nilai. Akan tetapi, kalimat itu belum tentu disadari oleh semua pembaca Novel Pram---dengan catatan pada sampul belakangnya tidak tertulis kalimat itu. 

Kalau saja boleh jujur, saya selaku pembaca awam saat itu, tidak menyadari adanya kalimat mutiara yang dieluh-eluhkan. Saat pertama kali saya membaca Bumi Manusia, saya hanya fokus membangun narasi dan memahami alur cerita dan perjalanan hidup tokoh Minke.

Yang mau saya katakan adalah bahwa dengan adanya tukilan dialog antara tokoh Jean Marais dan tokoh Minke yang menghasilkan kalimat mutiara tersebut, maka kita mendapatkan inspirasi, bahwa kata-kata yang tertulis dalam novel bukanlah sekadar kalimat hampa. 

Akan tetapi, sarat akan makna dan nilai yang mendalam. Entah siapa yang pertama kali menyadari kalimat itu? Editor buku kah? Entah siapapun itu, yang jelas, saya dan para pembaca lain (mungkin) terbantu dalam menemukan inspirasi yang terkandung dalam novel legendaris Pram. 

Berkatnya juga saya mendapatkan pehamaman bahwa seorang terpelajar apalagi seorang mahasiswa atau seorang sarjana, lebih-lebih ahli agama dapat melihat sesuatu secara adil tanpa perlu menghakimi sesuatu yang belum tentu benar tidaknya.

Berangkat dari narasi itu, saya ingin menegaskan bahwa kebiasaan kaum milineal yang gemar mengonsumsi tukilan-tukilan dari sebuah narasi besar dapat menimbulkan permasalahan yang menurut saya cukup berbahaya. Masalah itu adalah ketumpulan dalam berpikir kritis dan melihat sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja.

Apa yang terjadi belakangan ini menurut saya adalah imbas dan efek yang sedang terjadi. Kaum milineal yang enggan membaca narasi besar yang tengah dihadapinya, akhirnya menelan mentah-mentah racun ideologis yang justru menjerumuskan mereka. 

Akibat keengganan membaca dan memahami narasi besar itu pula akhirnya banyak kaum milineal dan bahkan masyarakat pada umumnya yang gagal paham dengan berbagai wacana yang sedang dihadapi.

Dalam hal ini masyarakat yang hidup di era kecepatan informasi harus lebih berhati-hati dalam memilih informasi terutama menyangkut wacana yang bersifat ideologis yang menentukan cara berpikir dan cara melihat suatu permasalahan. Salah satu yang paling riskan adalah perihal belajar agama. 

Tak dapat dipungkiri, saat ini telah menyebar suatu paham atau aliran dalam agama yang cenderung intoleran dan keras terhadap permasalahan yang bersifat sensitif. Tidak berhenti di situ, salah satu dari aliran ini justru bercita-cita untuk membentuk negara. 

Memang sebuah negara adalah hasil kesepakatan bersama. Artinya, rakyat (seluruh rakyat tanpa terkecuali) tetap menjadi pemilik sah sebuah negara, mau bentuk negara apapun, rakyatlah yang berhak menentukan.

Namun, jika kita melihat kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam, artinya tidak hanya terdiri dari beberapa suku bangsa saja, agaknya untuk mencari sistem pemerintahan selain demokrasi adalah sebuah kemustahilan. 

Karena dalam genggaman tangan siapa rakyat yang sungguh majemuk ini akan tunduk? Kalau hanya berasal dari sebuah ijma' ulama saja (hanya mewakili satu golongan saja), tentu saja tidak akan mampu mengakomodir seluruh apresiasi seluruh anak bangsa yang sangat majemuk ini. 

Jangankan membayangkan nanti jika mereka benar-benar berkuasa, cara mereka mengajak saja sudah memaksa dan cenderung keras, apalagi jika berhadapan dengan beribu anak bangsa yang sudah pasti berbeda?

Tentu bahaya gerakan dan paham radikal itu dapat berkembang dengan baik di Indonesia didukung oleh kebiasaan dan minimnya kemampuan literatur masyarakat jaman sekarang dan kaum milinieal. 

Era 4.0 selain menawarkan kemudahan dan kecanggihan yang luar biasa, juga menyimpan potensi menghancurkan peradaban manusia. 

Hal paling buruk yang bisa dibayangkan adalah terjadinya perang yang kemudian dimanfaatkan oleh bangsa luar untuk mengambil keuntungan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peran guru bahasa Indonesia sebagai garda depan dalam pengajaran dan kemampuan literasi bangsa sangat penting. Dalam hal ini, saya menggandeng santri sebagai agen perubahan yang nantinya akan berperan aktif dalam hal menangkis serangan radikalisme sekaligus meningkatkan kemampuan literasi bangsa.

Seperti yang telah dijabarkan di atas, gerakan radikalisme yang dulunya mewujudkan aksinya dengan mengebom tempat-tempat tertentu atau tindakan teror lain, maka saat ini radikalisme lebih menyasar ideologi. 

Teror yang dilakukan bukan lagi merusak fisik agar menimbulkan efek ketakutan dan kekacauan terjadi di mana-mana. 

Saat ini, ketakutan atau teror disebar melalui konten-konten yang berisi kekerasan atau mengajak ke arah kekerasan, contohnya mengajak membunuh orang lain bahkan mengajak membunuh presiden. Konsep membunuh diakrabkan kepada masyarakat pengguna internet atau biasa disebut netizen.

Saya sendiri pernah menyelidiki hal ini ketika dalam sebuah grup percakapan Whatsapp ada akun yang memosting tautan untuk bergabung dengan grup percakapan lainnya.

 Saya tertarik lalu bergabung dengan grup tersebut. Awalnya saya hanya berperan sebagai pembaca saja berbagai postingan yang ada di dalam percakapan itu. Sampai pada akhirnya saya menemukan suatu pola penyebaran teror yang dilakukan dalam percakapan grup. 

Contoh yang paling sering dilakukan adalah dengan mengirimkan gambar-gambar atau video kekerasan seperti korban konflik di timur tengah yang tewas mengenaskan. Intinya, mereka mencoba mengakrabkan anggota grup dengan konsep perang dan pembunuhan yang sadis. Bahkan ada kejadian yang menurut saya menggelikan dalam percakapan grup. 

Ada sebuah akun yang sepertinya adalah seorang perempuan yang bertanya tentang makna dari AK47 dalam sebuah postingan admin (pengurus grup). 

Saya paham bahwa pengurus grup (admin) itu sedang mengakrabkan anggota grup dengan senjata api. Saya pun segera menjawab kepada mbak-mbak yang bertanya itu bahwa yang dimaksud denga AK47 adalah senjata buatan rusia yang biasanya digunakan oleh teroris karena sering diselundupkan. 

Akibat dari jawaban saya itu, akhirnya muncul perdebatan panjang yang saya baca adalah pengalihan dari beberapa admin yang menyadari bahwa ada broker (perusak) rencana mereka di dalam grup, yaitu saya sendiri.

Tak berhenti disitu, saya pun pada akhirnya berperan aktif sebagai pendebat di dalam grup. Jika muncul beberapa postingan yang mengarah ke ajakan intoleransi atau mengajak melakukan kekerasan, saya langsung mendebat mereka. 

Sampai pada akhirnya saya cukup lelah meladeni mereka yang tampaknya sudah ahli dan telah memiliki tugas masing-masing. Saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari grup percakapan Whatsapp itu.

Setelah keluar dari grup percakapan, saya kemudian berperan sebagai polisi di salah satu platform media sosial, yaitu Facebook. Saya sengaja mencari postingan-postingan di facebook yang menyebarkan video kekerasan. Menurut saya hal itu sama dengan yang dilakukan dalam grup percakapan WA. 

Lagi-lagi masyarakat pengguna internet atau netizen diakrabkan dengan kekerasan yang tujuannya---menurut saya---adalah nanti mereka akan terbiasa dengan kekerasan dan pada akhirnya mau diajak melakukan kekerasan karena sudah terbiasa dan mereka sering melihatnya di postingan-postingan itu. 

Jadi seandainya ada momen yang sesuai dengan agenda mereka untuk melakukan kekerasan, maka masyarakat yang sudah terbiasa dengan konsep kekerasan itu secara tidak langsung akan ikut berpartisipasi. 

Jika menggunakan bahasa yang kasar, akan ada kelompok masyarakat yang terinspirasi melakukan kekerasan karena telah terbiasa dengan konten kekerasan, lalu ditambah dengan paham intoleransi yang kaku akan menjadikan mereka lebih beringas lagi ketika sampai pada aksinya.

Sejauh ini yang ingin saya katakan adalah dengan adanya kecepatan dan kebebasan penyebaran informasi akan sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah yang besar suatu hari nanti. 

Masalah minimnya literasi masyarakat terutama pengguna internet harus segera diatasi dan dicari solusi terbaiknya. Sebab, pihak penyedia platform tak pernah bertanggung jawab atas apapun yang terjadi di dalam produk mereka. 

Seperti facebook yang tetap saja membiarkan postingan kekerasan tersebar meskipun sudah saya marahi dengan sering melaporkan postingan kekerasan itu kepada mereka. 

Alih-alih mendapat respon, ternyata akun saya hanya dialihkan dengan minimnya postingan-postingan itu muncul di beranda akun saya. Akan tetapi, masih dapat muncul di akun lain yang tidak protes seperti saya. 

Semoga pihak facebook segera menyadari kegentingan masalah teror dan penyebaran konten radikalisme dan kekerasan ini meskipun sebenarnya saya pesimis dengan hal itu mengingat mereka (facebook) adalah sebuah perusahaan yang pasti tidak terlalu memikirkan dampak apapun, yang penting platform media sosial mereka masih laku dan semakin banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. 

Sekali lagi saya peringatkan radikalisme tidak lagi mewujudkan aksi mereka dengan kekerasan yang dilakukan secara nyata oleh kelompok mereka, akan tetapi di era 4.0 ini mereka meneror dengan cara membuat masyarakat itu sendiri yang pada akhirnya melakukan kekerasan.

Selain berperan aktif dalam mendebat sesuatu yang bersifat radikal dan intoleran hal lain yang tak kalah pentingnya dilakukan oleh guru bahasa Indonesia adalah meningkatkan minat membaca atau literasi siswa. 

Sebagai guru bahasa Indonesia di sekolah, tentu saya mempunyai hak dan kewajiban mengatur bahan bacaan siswa. 

Selain itu saya juga bisa mengarahkan wacana yang dibicarakan di kelas. Akan tetapi, semua itu tidak bisa saya lakukan jika saya sendiri juga minim literasi.

Saya mulai dengan membiasakan diri untuk membaca agar kelak anak didik saya juga gemar membaca. Saya sangat percaya dan meyakini sebuah pepatah yang kurang lebih berbunyi "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Tafsir sederhana saya tentang pepatah atau peribahasa itu adalah semua yang dilakukan oleh seorang guru akan dilakukan juga oleh sang murid, bahkan apa yang dilakukan oleh murid itu lebih dari apa yang dilakukan oleh gurunya. Maka dari itu saya optimis nanti anak didik saya juga akan meniru apa yang saya lakukan.

Sebagai contoh dalam perilaku sehari-hari, saya selalu menyempatkan membawa buku ke sekolah. Di saat anak didik saya sedang istirahat, saya justru beristirahat di perpustakaan sekolah sambil menuntaskan bacaan buku saya. 

Di saat itulah ada beberapa anak yang tertarik, lalu menghampiri saya sembari menanyakan perihal buku apa yang saya baca. Saat itulah saya mulai mendoktrin mereka tentang keutamaan membaca. 

Memang ada juga beberapa anak yang justru kemudian berbalik arah. Tetapi ada juga anak yang justru bertambah semangat dalam membaca. Dalam hal ini saya tak berpikir panjang untuk memberi mereka buku bacaan, sekalipun itu adalah buku yang baru saya beli.

Di dalam kelas, untuk meningkatkan minat baca terhadap siswa, saya tidak melakukan seperti yang saya lakukan di perpustakaan. 

Akan tetapi, saya gencar mempromosikan karya sastrawan-sastrawan terkenal Indonesia, menceritakan kisah hidup dan kehebatan sastrawan Indonesia, pokoknya saya terus mencoba memegaruhi pikiran anak didik saya bahwa orang besar selalu memulai kegemilangannya dengan membaca.

Selain itu, terkait dengan materi pembelajaran bahasa Indonesia, saya tidak melulu menjelaskan aspek kebahasaan dengan mendikte mereka. 

Jika ada siswa yang bertanya tentang makna sebuah kata yang tidak mereka mengerti, saya selalu mengarahkan mereka pada penggunaan kata itu dalam kehidupan sehari-hari. 

Saya tidak menerapkan sebuah metode pembelajaran yang mendefinisikan makna sebuah kata. Saya ingin justru anak didik saya mengerti atau mencoba memahami makna dan maksud dari sebuah kata dengan membacanya dalam sebuah narasi atau wacana. Misalnya ada siswa yang bertanya makna dari kata 'partisipan'. 

Saya bisa saja merujuk pada kamus dengan membacakan makna atau arti dari kata partisipan itu, akan tetapi justru dengan demikian saya membatasi nalar mereka untuk memahaminya dalam konteks pembicaraan atau wacana. 

Yang akan saya lakukan pada saat menerima pertanyaan itu adalah dengan memberikan mereka kalimat yang lazim digunakan yang di dalamnya ada kata yang sebentuk dengan kata yang mereka tanyakan. 

Jika merujuk pada contoh kata partisipan, maka saya akan memberi mereka kalimat "Seluruh warga berpartisipasi dalam acara petik laut". 

Dalam konteks kalimat tersebut, tanpa perlu tahu secara definitif makna dari kata kerja "berpartisipasi", para siswa secara tidak langsung memahami maksud dari kalimat itu. 

Paling tidak yang ada dalam benak mereka bahwa seluruh masyarakat yang tinggal di desa itu, ikut dalam kegiatan petik laut. Dari pemahaman itulah saya akan menggiring pemahaman mereka bahwa kata "partisipan" yang mereka tanyakan itu sama kedudukannya dengan kata "berpartisipasi" yang telah saya contohkan. 

Begitulah kira-kira cara saya menghindarkan siswa saya terhadap pola berpikir definitif dan sebaliknya saya membiasakan mereka berpikir dengan melihat pada konteks atau wacana. 

Dalam hemat saya, porsi teks dan konteks harus dipahami secara seimbang agar menghasilkan wacana yang komprehensif. Bahasa sederhananya adalah agar siswa tidak berpikir terlalu kaku terhadap sebuah wacana, di satu sisi juga tidak terlalu menyepelekan dan memandang sebuah wacana tidak penting.

Jember, 2019

Penulis adalah alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Jember. Saat ini penulis bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di Yayasan Nurul Islam, Antirogo-Jember. Selain mengajar, penulis juga aktif berkarya bersama grup musikalisasi puisi "Selimut Dingin" Jember.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun