Oleh karena itu, perlu ada pergeseran paradigma komunikasi dari simbolik menuju adaptif. Bukan mendengar untuk menjawab, tapi mendengar untuk berubah.
Salah satu pendekatan yang relevan adalah membangun mekanisme umpan balik yang reflektif---yakni sistem komunikasi yang memungkinkan kritik dapat berpengaruh langsung pada formulasi dan evaluasi kebijakan.
Lebih jauh, pemerintah perlu mempraktikkan radical listening---mendengarkan kelompok yang terpinggirkan dari percakapan arus utama. Sebab suara minoritas sering kali menjadi indikator awal dari ketimpangan sosial yang lebih luas.
Komunikasi publik yang baik, selain responsif terhadap suara mayoritas, juga sensitif terhadap suara minoritas yang terpinggirkan.
Tentu, kita tidak menutup mata terhadap upaya pemerintah dalam menjalin komunikasi dengan media. Pertemuan itu tetap penting. Namun, di tengah tantangan demokrasi yang makin kompleks, pertemuan dan pernyataan sikap saja tidak cukup.
Yang dibutuhkan adalah empati yang terstruktur dan aplikatif. Empati akan terasa jika pemerintah membuka telinga, bukan mengatur "nada suara" yang disampaikan rakyat.
Jika pemerintah terus-menerus kehilangan nada dalam menjalin komunikasi, rakyat akan selalu mencari panggung baru untuk menyuarakan kegelisahan mereka.
Ketika suara rakyat tidak ditampung oleh forum resmi, sejarah telah menunjukkan jalanan selalu menjadi ruang terbuka untuk bersuara dan berteriak.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI