"Mantap" di Atas Kuburan: Humor tentang Empati Digital dan Komentar yang (Tak) Bermakna
Di dunia maya yang serba cepat, penuh disrupsi, dan kadang lupa bawa hati, ada satu fenomena unik yang selalu muncul di kolom komentar, terutama di platform seperti Kompasiana: kata ajaib bernama "mantap." Kata ini sering juga saya pakai buat memuji tulisan teman lain. Kalau tidak salah khusus untuk tiga penulis saya memakai kata itu namun dengan terusan yang lain.
Ya, "mantap." Satu kata yang seolah jadi mantra wajib. Muncul otomatis, seperti notifikasi WhatsApp yang tak bisa dimatikan. Tak peduli apakah tulisannya tentang resep rendang, review film, atau (ini yang paling absurd) tentang kematian seorang sahabat.
Bayangkan ini: seseorang menulis dengan hati yang remuk, menggambarkan kepergian sahabatnya yang tiba-tiba, kenangan yang tak sempat diucapkan, dan rasa hampa yang menggema di setiap paragraf. Lalu, di kolom komentar, muncul:
"Mantap!"
"Menarik banget!"
"Inspiratif, nih!"
Rasanya seperti datang ke rumah duka, lalu bilang ke keluarga almarhum:Â
"Wah, acara pemakamannya aesthetic banget! Mantap, deh!"
Pasti langsung diusir pakai sapu lidi atau minimal dikirimi doa biar nggak komen sembarangan lagi.
Saat "Mantap" Jadi Robot Empati
Tulisan ini lahir dari keheranan: bagaimana mungkin kata yang biasanya dipakai untuk memuji gorengan renyah atau motor kencang, tiba-tiba jadi respons universal untuk segala jenis tulisan, termasuk duka?
Kalau "mantap" bisa bicara, mungkin ia akan protes: