Ketupat bukan sekadar sajian khas saat Idul Fitri. Ia adalah simbol. Ia memiliki nilai yang lebih dalam dari sekadar makanan.
Dalam tradisi Jawa, ketupat mengandung filosofi ngaku lepat---mengakui kesalahan.Â
Simbol ini muncul dalam momen sakral: setelah sebulan berpuasa, kita diingatkan untuk selalu rendah hati, membuka diri, dan saling memaafkan.
Makna ketupat tidak berhenti di situ.
Perhatikan bentuknya. Anyaman janur muda yang rumit, selain menampilkan pesan estetik, juga menggambarkan jejaring sosial yang saling terikat.
Masyarakat yang harmonis dibangun dari benang-benang relasi antarindividu. Simbol bahwa kita tidak hidup sendiri, tapi saling terhubung dalam struktur sosial yang kompleks.
Dari sinilah makna ketupat dibaca lebih luas. Ketupat bukan simbol religius atau budaya semata. Ia adalah konstruksi sosial---cara masyarakat mengatur nilai dan relasi sosialnya.
Dan seperti semua simbol sosial, ia terus bergerak mengikuti dinamika zaman. Ketupat dapat menjadi simbol inklusivitas.
Dalam masyarakat yang semakin plural, pengakuan kesalahan tidak hanya berlangsung di ruang personal. Pengakuan ini juga berlangsung dan menjadi bagian dari diskursus publik.
Ketika kelompok atau institusi mengakui kesalahan historis---atas diskriminasi, kekerasan, atau ketidakadilan---di situlah semangat ngaku lepat hadir dalam skala yang lebih luas.