Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pra-Ramadan dan Ilmu "Empan Papan"

20 April 2020   23:21 Diperbarui: 22 April 2020   18:18 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: KOMPAS.com/MAJT

Ada guyonan tapi serius beredar di grup Whatsapp. Saya menyebutnya guyonan karena setelah membacanya kita dibuat tersenyum, sambil berkata dalam hati, "Iya ya."

Serius karena komplikasi persoalan antar umat beragama dan sesama umat beragama tidak terurai lagi kecuali oleh sikap saling berendah hati.

Guyon tapi serius ini intinya saling menyindir dan menelanjangi fanatisme kelompok, namun dibela dan dijadikan bahan perdebatan hingga hari kiamat pun saya yakin tidak akan selesai. Saya terjemahkan menjadi Bahasa Indonesia, seperti ini:

"Dahulu ada wanita memakai cadar dicaci. Sekarang, semua orang, laki-laki dan perempuan, wajib menggunakan masker."
"Dahulu ada masjid yang dipel habis shalat dihujat. Sekarang, masjid-masjid disemprot desinfektan."
"Dahulu sudah diberi saran, usai shalat tidak usah bersalaman. Sekarang, selesai shalat malah tidak berani bersalaman."
"Dahulu sudah diberitahu kalau menata barisan shalat kakinya tidak usah menginjak kaki teman di sebalahnya. Sekarang, malah diberi jarak minimal satu meter."

Kebiasaan kita adalah menertawakan "kesalahan" dan "kebodohan" orang lain. Saking asyiknya, kebiasaan itu berubah jadi gemar menyalahkan bahkan menyentuh aspek teologis.

Kalau Corona tidak menyapa manusia dagelan di atas tidak mungkin muncul ke tengah publik sebagai bahan untuk menertawakan diri sendiri.

Conditioning Pra-Ramadan


Mulai bulan Rajab dan Sya'ban, umat muslim dipaksa oleh Corono agar melakukan pemanasan---atau kita sebut saja mengalami conditioning Pra-Ramadan. Imbauan tidak keluar rumah: bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah, jaga jarak minimal satu meter merupakan panduan secara tersurat agar kita kembali ke rumah.

Makna tersiratnya adalah conditioning Pra-Ramadan memaksa kita kembali ke jiwa hakiki, rumah yang sejati, di dalam diri kita masing-masing. Mungkin kita akan pangling menatap halaman rumah jiwa kita karena jarang sekali ditengok. Bahkan penghuni rumah jiwa kita merasa kesepian karena tidak pernah disapa.

Kita pun terbata-bata menyapa jiwa kita sendiri. Pakewuh bersama keasingan yang menyergap. Wajah kita yang fana, yang selama ini mewakili setiap ekspresi dan ambisi mereguk dunia, tertunduk malu bertatapan mata dengan wajah kita yang sejati abadi.

Pada saat yang lain, diam-diam kita menertawakan kekonyolan yang selama ini kita banggakan sebagai prestasi, nama baik, prestise, kemuliaan.

Menjelang bulan Ramadan jiwa kesadaran menjadi lebih sublim, lebih kental, lebih meneb, lebih khusyuk. Aku menjadi lebih akrab dengan "Diri" ku.

Ternyata, Diri yang dimaksud bukan diri materi, diri tumbuhan, dan diri hewan, melainkan "diri manusia". Ya, kita menjumpai diri kita kembali sebagai manusia---yang selama ini tergerus menjadi diri materi, diri tumbuhan, dan diri hewan.

Yang telah menemukan dirinya sebagai manusia akan melihat dan memperlakukan orang lain sebagai manusia juga. Sama-sama manusia. Dua manusia akan saling memanusiakan, saling memuliakan, saling menjaga harga diri dan martabatnya.

Transformasi Kesadaran Aji, Ngaji, Ngajeni

Kesadaran Diri manusia bertemu dengan Diri manusia akan melahirkan sikap ngajeni. Saya tidak tahu persis apa bahasa Indonesia dari ukara "ngajeni". Kata dasarnya, aji. Kata yang dekat untuk memotret maknanya adalah mulia, berharga, luhur. Yang kita semua kenal adalah Aji Santoso.

Aji yang diproses melalui laku pembekalan diri namanya ngaji. Nilai manfaat ngaji baru sebatas prestasi individu. Adapun perilaku ngaji yang ditransformasi untuk manfaat kehidupan komunal, sosial, atau bahkan lebih luas lagi disebut ngajeni.

Transformasi aji, ngaji, ngajeni tidak hanya berlaku secara individual, melainkan berlangsung pula dalam kehidupan bilik-bilik sosial, organisasi, ormas, partai politik bahkan antar sesama pemeluk agama.

Maka, pada konteks transformasi itu, NU dan Muhammadiyah semoga tetap mesra sebagai organisasi masyarakat yang sama-sama menaungi manusia, sehingga tidak perlu berdebat siapa yang paling shahih pendapatnya saat menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal.

Apabila setiap agen sejarah dan para pelakunya telah menemukan "akar" manusianya---berkat "jasa baik" Corona---kehidupan pra-Ramadhan akan mengantarkan kita memasuki gerbang bulan ampunan dengan suasana yang bukan hanya berbeda, namun benar-benar baru.

Kita lahir kembali sebagai manusia. Kita pun menjalani puasa karena Tuhan memanggil kita sebagai manusia yang beriman.

Mukmin artinya manusia yang mengamankan orang lain dan lingkungannya. Ketika shalat lima waktu, tarawih, tadarus, berzakat, berinfaq dan bersedekah dijalankan dengan cara yang menjamin keamanan lingkungkan dan orang di sekitarnya sesuai koteks situasi kekinian.

Kita mengupayakan keamanan diri di depan Tuhan, sekaligus menjamin keamanan lingkungan serta orang-orang di sekitar kita.

Ilmu tentang Batas dan Empan Papan

Karena itu, bagi dusun atau desa yang berada di zona hijau, kewaspadaan tetap ditegakkan. Mushola dekat rumah saya pun mulai menata persiapan menjelang bulan Ramadan. Karpet telah digulung sejak tiga minggu lalu. Tiap sore lantai dipel. Diberi tanda untuk menjaga jarak di antara barisan shalat.

Yang shalat berjamaah tidak ada orang dari luar. Semua tetangga sendiri yang saling memantau, mengingatkan dan menjaga kesehatan keluarganya. Takmir mushola telah menyusun panduan teknis sebelum shalat tarawih dimulai.

Misalnya, berangkat dari rumah sudah berwudlu terlebih dahulu; memakai masker; setiap orang membawa sajadah; tidak bersalaman usai shalat; serta panduan teknis lainnya.

Tak kalah penting adalah membangun pengertian sesama warga kampung bahwa daya tampung mushola menjadi sangat terbatas demi standar menjaga jarak antar jamaah. Yang tidak dapat tempat tidak perlu memaksakan diri shalat di mushola. Shalat Isya dan tarawih bisa dilaksanakan di rumah  bersama anak-anak.

Tidak ada pro dan kontra di antara jamaah manakala panduan memutus rantai penularan Covid-19 disampaikan secara logis dan bijaksana. Warga mengerti dan menerima keputusan dengan hati legowo. 

Namun, jujur, saya membayangkan ada yang hilang pada bulan Ramadan nanti. Saya menghela napas, merelakannya hilang sementara waktu. Kepada yang hilang sementara itu saya mempuasainya sejak sekarang. 

Tersadar saya. Puasa mengajari saya ilmu tentang batas dan kebijaksanaan empan papan. []

Jagalan, 200420

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun