Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kopi "Nasgithel", Evolusi "Ngopi" dan Kesadaran yang Manunggal

5 Maret 2020   20:50 Diperbarui: 6 Maret 2020   03:28 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbeda dahulu berbeda sekarang, cara orang memperlakukan kopi juga mengalami evolusi| Foto: pexels.com/Arshad Sutar

Ada-ada saja kawan saya ini. Warkop (Warung Kopi) dipelesetkan jadi War-Kop alias "perang kopi". Mendadak "perang" antar  pengusaha coffe menjadi tema diskusi malam itu.

Awalnya, kami sepakat mengangkat tema Virus Corona dan Kepanikan Masyarakat. Tema ini dinilai cukup aktual, hangat dan tengah ramai-ramainya diperbincangkan. Sayangnya, di antara kami tidak ada yang ahli soal virus. Paling jauh, yang kami tahu adalah virus yang menginfeksi software di laptop.

Alhasil, mari ngopi bersama, mengendapkan hati dan pikiran, sejenak saja, di tengah hiruk-pikuk persoalan yang tiada pernah ada habisnya.

Bertempat di akaranting.kopi Jombang saya menyimak penuturan teman-teman yang memiliki spesialisasi tentang kopi. Berhubung status saya sejauh ini adalah penikmat kopi, kesempatan mendapat wawasan tentang perkopian tidak saya sia-siakan. Seluk beluk tentang kopi, mulai hulu hingga hilir, saya cerna. Soal kopi awam benar saya.

Berurusan dengan kopi yang saya akrabi adalah istilah, misalnya kopi nasgithel (panas legi kenthel), kopi napitel (panas pahit kenthel) atau kopi nggereng (angger ireng), kopi lanang (kopi hitam tanpa "susu"), kopi wedok (kopi dicampur "susu").

Kelas sosial ngopi saya juga terbilang rendah: kelas warung. Padahal, menurut Mas Andik yang menggeluti dunia "ghoib" perkopian---saya katakan ghoib karena ilmu dan pengalaman saya belum sejauh itu menembus belantara hutan kopi---telah terjadi evolusi bisnis kopi, mulai dari warung kopi, kedai kopi, coffee hingga coffee shop.

Sesekali saya agak nggaya duduk di coffe karena kebaikan hati teman-teman yang mentraktir saya. Selebihnya, saya adalah penduduk asli warung kopi.

Saya mencermati evolusi bisnis yang memanjakan penikmat kopi mengalami pergeseran dari yang awalnya sekadar dikonsumsi, dinikmati hingga mencapai "maqam" diapresiasi. Ini menarik untuk direfleksikan, baik untuk menjaga stabilitas "DNA" bisnis coffee maupun digunakan sebagai cara pandang di luar tema kopi.

Ketika belum muncul kedai kopi dan bisnis coffee secara masif seperti sekarang, pilihan orang menikmati kopi ya di warung kopi. Di sana orang datang untuk minum kopi. 

Nawaitu berangkat dari rumah adalah ngopi. Soal rasa kopi, jenis biji kopi, cara menyeduh, suhu panas air, pokoknya semua hal yang terkait dengan teknis kompetensi meracik kopi, orang tidak terlalu memperhatikan. Pokoknya kopi itu rasanya nyamleng, enak sudah.

Di warung kopi mereka berkumpul selain untuk ngopi, terjalin juga situasi sosial yang egaliter. Kasta sosial belum seketat sekarang. Berkumpullah manusia dari berbagai kalangan dan tingkat sosial, duduk bersama, ngobrol bersama, membicarakan persoalan sederhana atau isu-isu receh.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun