Survei menjukkan dari seribu penduduk Indonesia, hanya satu orang yang membaca buku. Daftar buruk hasil survei bukan terkait dengan minat baca saja. Kemampuan sains dan matematika pelajar Indonesia juga memelas.
Sudahlah. Legowo saja menerima fakta yang sesungguhnya kita sendiri telah secara canggih merancangnya. Bahkan Pak Anies Baswedan pun berulangkali menyatakan pendidikan Indonesia sedang gawat darurat. Apa yang kita saksikan hingga hari ini merupakan produk pendidikan Indonesia di masa lalu.
Apa boleh buat. Mesin waktu tidak bisa diputar. Kaki harus melangkah dan terus melangkah ke depan. Silahkan menoleh ke belakang untuk keperluan secukupnya saja: belajar dari keteledoran masa lalu. Selanjutnya tetap sadar di ke-kini-an. Sekarang. Di sini. Mata menatap ke depan. Bergerak.
Itulah mengapa di pagi yang segar pada hari minggu, Cak Siman mengajak anak-anak pergi ke pasar. Lokasi pasar yang tidak jauh dari rumah ditempuh dengan berjalan kaki.
“Asik. Kita berbelanja di pasar,” seloroh Rere
“Cak Siman kita nanti ditraktir beli sarapan ya?”
“Kita belanja ilmu,” sahut Cak Siman.
“Belanja ilmu?”
“Kalau ke pasar itu belanja sayur mayur, beli baju, atau cari sarapan!”
“Ah, Cak Siman ini aneh.”
Sampai di pasar, di pendopo yang berada di gerbang pasar, Cak Siman membagikan kertas dan alat tulis. Anak-anak bertanya-tanya. “Untuk apa ini Cak?”
“Kertas dan alat tulis ini untuk belanja ilmu,” ungkap Cak Siman.
“Belanja kok pakai kertas?”
“Iya Cak. Belanja itu pakai uang.”
Anak-anak berpikir kritis. Cak Siman melandeninya dengan sabar.
“Kita akan belanja ilmu. Tantangannya adalah silahkan menemukan tiga hal yang menarik perhatian kalian di pasar ini. Tiga hal itu bisa peristiwa, orang-orang yang ada di pasar, sampah, barang dagangan, orang gila, becak. Terserah kalian, pokonya tiga hal yang menarik perhatian atau minat kalian.”
“Menulis makanan boleh, Cak?” tanya Rangga.
“Boleh. Apa saja. Jangan lupa menjelaskan alasan mengapa kalian tertarik tiga hal itu. Waktunya tiga puluh menit.”
Mereka segera berpencar.
***
Tidak dinyana. Beberapa anak menulis lebih dari tiga hal yang menarik. Maya misalnya, ia mengamati nenek tua yang ngelempoh di lantai menjual bayam, kangkung, lombok. Orang gila di pojok pasar. Tas sekolah yang digantung di depan toko. Anak kecil yang rewel.
Dafa lain lagi. Bocah kelas empat sekolah dasar itu justru tidak tertarik apapun. Ia menemukan satu hal yang mengganggunya. Tumpukan sampah yang menggunung.
Cak Siman mengapresiasi hasil temuan mereka. Tidak berlaku hukum salah benar. Setiap anak memiliki minat dan kecenderungan yang tidak harus sama dan tidak wajib disamakan.
Untuk apa hasil temuan mereka? Cak Siman bersama anak-anak membedah satu temuan yang ditemukan setiap anak. Dafa yang terganggu oleh sampah yang menggunung diajak “mendalami” fakta itu. Pelan-pelan, Cak Siman dibantu anak-anak yang lain, mencermati mengapa sampah menumpuk di pasar. Apa akibatnya? Mengapa petugas kebersihan tidak segera mengusungnya ke tempat pembuangan akhir? Apa yang harus kita lakukan agar lingkungan bersih? Bagaimana mengolah sampah? Dan seterusnya.
Semua pertanyaan itu tidak perlu dijawab tuntas. Cak Siman memancing, menggugah, menumbuhkan kesadaran, menyelami lebih dalam – dengan kapasitas khas anak-anak – untuk melengkapi informasi dan menemukan solusi terkait dengan sampah dan pengelolaannya.
Hasilnya? Dafa dan teman-temannya sepakat mereka harus membaca buku atau mengkases internet untuk belajar lebih lengkap lagi tentang sampah. Minggu depan mereka akan membawa buku, majalah, koran yang berkaitan dengan sampah. Bahkan gerakan suka membaca bisa dimulai dari pasar.
***
Bergeser sedikit ke arah gerakan literasi yang akhir-akhir ini ramai digalang. Nampaknya, gerakan membaca buku lima belas menit sebelum pelajaran cukup efektif untuk mewujudkan gerakan membaca itu sendiri. Conditioning khas pemerintah, terstruktur dari atas ke bawah, dengan kekuatan regulasinya untuk “memaksa” siswa membaca.
Mengapa conditioning gerakan membaca buku tidak didorong dari dalam diri siswa dengan menciptakan atmosfer pembelajaran yang menggugah minat baca? Mengapa gerakan membaca buku tidak diawali dengan menumbuhkan self-motivation mengakses buku? Mengapa siswa tidak dilibatkan dalam atmosfer pengalaman nyata di lingkungan untuk memantik minta baca?
Mengapa gerakan membaca buku tidak integratif dengan misalnya, proses belajar di kelas yang berbasis buku dan menantang sikap berpikir yang mengakrabkan siswa dengan buku yang bukan sekedar teks pelajaran?
Mengapa membaca buku dimaknai sebatas membaca teks dan tidak menukik lebih dalam ke makna subtansial aktivitas membaca? Mengapa makna subtansial membaca tidak menjadi akar yang menumbuhkan minat baca, berdaun suka baca, berbunga haus baca, berbuah aktivitas membaca sebagai sikap belajar seumur hidup?
Mengapa oh mengapa? []
Achmad Saifullah Syahid
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI