Mohon tunggu...
Achmad Nur
Achmad Nur Mohon Tunggu... Seniman - Ahmadnrmansyah

Manusia biasa, tetapi susah bangun. Suka memberi pesan whatsapp, "okey sampai sana aku whatsapp", sampai akhirnya "Tidak, saya sudah dijemput!."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Katastrofa Judi dan Narkoba

20 Agustus 2019   01:21 Diperbarui: 20 Agustus 2019   01:24 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Ahmadnrmansyah

"Katastrofa Judi dan Narkoba"

Sebagian orang-orang apatis yang menduduki kampung kumuh itu, yang sebagian dari mereka suka menggunakan menjual benda itu, entah dari mana benda itu berasal. Benda bahaya yang dicari orang-orang ketika sudah pernah menggunakan danterjadi kencanduan apalagi sudah sampai kekurangan. Nama benda yang tak asing lagi ditelingaku ketika kumendengar namabenda itu. 

Benda yang dijual sepanjang lorong itu, Benda yang membuatku muak dan membencinya, Karena sebagian dari mereka lebih suka menggunakan dan menjual benda yang membuat dari mereka lupa diri, ketimbang melihat anak-anak dari mereka berpendidikan. 

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi, wong kamu juga nantinya cuma jadi Bandar narkoba kok, kan bisa cepat dapat uang buuaanyak," ucap bapak saat ku meminta untuk melanjutkan pendidikan ku setelah lulus dari SMA ke perguruan tinggi.

"Yang penting kamu suda bisa menulis, baca dan menghitung, itu sudah lebih dari cukup." Ucapan yang keluar dari mulut seorang bapak yang tak lain bapak tiriku.

"Uangnya bisa untuk makan dan keperluan sehari-hari." Ucapan yang terkeluar dari mulut bapak sambil mengisap rokok yang ada disela-sela jari tangan nya, entah itu sudah batang rokok yang keberapa, yang aku baru beberapa menit saja didekat nya bisa menyesakkan dadaku.

"Tapi kan pak....?

"Sudah nggak usah kebanyakan tapi-tapi, mending sekarang kamu ikut mereka anak tetangga-tetangga kita yang bisa dapat uang banyak dengan hanya menjual sabu, bukanya kamu juga akrab dengan mereka," sebelum aku sempat bertanya lebih jauh bapak sudah lebih cepat memotong bicaraku, bapak tiriku yang sudah masuk kedalam dapur  dengan rokok yang terselip dikedua bibirnya. Dalam hati aku berbicara, lelaki tua yang berpikiran sempit tentang pendidikan, yang percaya bahwa untuk mendapatkan materi tidak perlu berpendidikan tinggi-tingi tapi cukup dengan modal bisa baca, tulis dan menghitung serta fisik yang kuat.

****

Dan disini lah aku berada, dikampung kumuh yang dipenuhi gang-gang sempit dan rumah yang berdempet-dempet, penuh dengan sesak orang-orang diperkampungan, namun dengan sesaknya kampung maka semakin nyaman, sebagian dari mereka menyukainya, Dikampung kumuh ini lah aku berkerja sebagai peluncur penjual narkoba, narkoba yang dimiliki seorang  Bandar.  Semua keinginan bapak tiriku, yang jika aku tidak mengikutinya ntah aku tinggal dimana nantinya.  Bapak tiriku berkerja sebagai kuli bangunan yang gajinya hanya seratus ribu per hari, tetapi ia berhutang sana sini, uang gaji bapak dipakai hanya untuk berjudi saja, belum lagi hobi bapak yang sering pergi ke club malam dan sangat-sangat kecanduan sabu.

Ada rasa iri dalam diriku, yang melihat langkah-langkah ringan dan canda tawa anak-anak yang masih ingin berpendidikan tinggi yang melintas depan teras rumahku selalu bersemayam dihatiku. Benar-benar mereka anak yang beruntung, "Mereka seperti selalu ceria mempunyai teman-teman baru tanpa beban," pikirku melayang.

"Eh, kamu nda jualan sudah jam berapa ini?" kata bapak yang menyuruhku berjualan seakan-akan aku berkerja ditoko, maka tersadarlah aku dari lamunan, dengan segera aku pergi ketempat seorang Bandar tempat bapak tiriku berhutang.

"Kamu jangan lupa kasih tau bosmu nanti kalau ada duit bapak bayar hutang." Kata bapak 

"Iya pak." Berat hatiku untuk melangkahkan kaki, ternyata bapak berhutang sama Bandar narkoba tempatku berkerja.

Aku berkerja dengan hati yang tak pernah ikhlas, menjadi peluncur seorang Bandar narkoba adalah perkerjaan sangat berat bagiku, tapi mau bagaimana lagi ini kemauan bapak tiriku yang tidak pernah pikir panjang terhadap suatu perkerjaan, yang bisa saja ada aparat negara yang menangkapku dan memasukan aku kepenjara, entah sampai kapan aku berkerja seperti ini. Seorang ibu yang hanya bisa terdiam melihat kelakuan bapak tiriku yang mengira aku berkerja ditoko.

Sudah sebulanan lebih aku berkerja sebagai Bandar narkoba,dan ibuku mengetahui diriku berkerja ditoko sembako yang tidak jauh dari rumahku, tetapi aku hanya bisa melihat keluakuan seorang bapak tiri yang tidak peduli dengan keluarganya. Selama aku berkerja menjadi seorang penjual narkoba, bapak sering meminta uang kepadaku untuk membeli rokok, tidak tanggung-tanggung merokok yang lumayan mahal bagiku, rokok seperti mandor-mandor yang memiliki duit lebih banyak dari pada kuli seperti bapak. Dan tampaknya beliau lebih suka membeli rokok, bermain judi, ke club malam, membelisabu, ketimbang membeli beras dan keperluan keluarganya. Mungkin dipikiran beliau tidak pernah merasa bersalah memperkerjakanku.

Disudut kamar aku berdiam diri sejenak setelah beristirhat bekerja dikampungku, kulihat seorang ibu yang berharga dalam hidupku. Ibu yang selama ini meberikan perhatian, memberikan kasih sayang tanpa mengharapkan balasan. Ibu sebagai perempuan perkasa yang menerima suratan takdirnya, dan selalu mendoakan diriku.  

"Nak, kamu sudah gajian belum?," tanya ibu dengan hati-hati.

" Sudah Bu, kemarin. Kenapa bu?," aku balik bertanya pada Ibuku.

"Boleh ibu pinjam dulu? Buat beli beras dan bayar sewa rumah kita, bapakmu udah lima hari tidak berkerja lagi.

Dengan berat hati aku berusaha mengikhlaskan uang gaji yang ingin kutabung untuk biaya kuliah ku nantinya, raut wajah Ibu yang seketika berubah cerah saatku berikan uang yang ku punya, walaupun ibu tidak tahu kalau itu uang hasil aku menjual sabu.Jika ibu tahu pasti ibu akan kecewa.

"Makasih Nak, nanti ibu akan mengantinya kalau bapakmu berkerja lagi, ibu yakin kamu ingin menabung untuk biaya kuliah tahun depan." Ucap Ibu sambil mengusap ubun-ubunku.

"Tidak usah diganti, pake saja bu," dengan merasa berdosa aku mengakatan kepada ibu.

 

Diluar, suara batuk  keluar dari mulut bapak yang tersedak asap rokok, Ibu pun mengingat kan bapak untuk mengurangi rokok yang dikonsumsinya namun bapak hanya diam cuek seperti tak ada yang mengajaknya berbicara, dalam pikiranku "biarkan saja Bu, biarkan beliau sakit dan cepat mati, lagian dia cuman bapak tiriku". Dalam pikiranku seketika mau jahat sekalian jahat sekali.

Selama sebulan lebih aku berkerja, kebiasaan bapak bermain judi semakin menjadi-jadi yang biasanya hanya satu hari tidak pulang, tetapi ini dua sampai tiga hari tidak pulang. Uang menang berjudi lebih banyak habis ke club malam, membeli narkoba, ketimbang habis untuk keperluan keluarga. Bapak sepertinya semakin menyenangi hal itu, Bapak bagaikan pemadat yang sangat mendamba judi dan narkoba.

Setelah dua hari tidak ada dirumah, ibu menegur bapak yang duduk diteras rumah dengan mata merah, sepertinya bapak habis mabuk, saat itu Ibu melihat bapak dan langsung menegur. Ibu yang biasanya yang selalu sabar, kini diam-diam  mulaimengeluh kebiasaan Bapak yang makin tidak terkendali.

"Sadar Pak, dua hari tidak pulang kerumah sampai lupa keluarga, kita ini sudah tua dan tidak memiliki apa-apa untuk diwariskan. Apa bapak mau melihat anak kita bernasib sama seperti kita orang tuanya," Tegas ibu berbicara meminta pengertian bapak yang akhir-akhir ini jarang pulang kerumah.

"Kamu cari saja suami yang kaya raya yang bisa biayain keperluanmu dan anakmu, jadi istri cuman bisa diam dirumah saja, siapa yang betah kalau kamu jadi istri cuman bisa masak diam dirumah saja, kalau tidak suka yah kita cerai saja anjing...!," dengan suara keras bapak berbicara, tanpa pikir panjang mencerai kan ibu.

"Iya Pak" dengan air mata mengalir dipipi, Ibu mengiyakan kemauan bapak dan berjalan kearah kamar.

Malam hari tiba, Ibu bergegas mengajakku pergi dari rumah, menyimpun baju-baju kami yang ada dirumah itu, dan pergi jauh meninggalkan bapak tiriku yang tidak tau diri, dan aku tidak pernah ikhlas dan mengakui seorang  bapak yang memperkerjakanku dalam hal yang tidak baik. Dari situ aku dapat pengalaman dan pelajaran baru setelah ibuku ditinggal bapak kandungku meninggal dunia, aku begitu cepat menyimpulkan seseorang. Aku mengira beliau adalah orang bai yang bisa mengatikan bapak kandungku, Ternyata orang yang mempunyai sifat buruk yang dibukus dengan sifat yang baik-baik diluarnya saja.

(Cerita diatas diambil berdasarkan Woazy.com, katastrofa pendidikan Negriku.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun