Mohon tunggu...
Achmad Jalaludin Akbar
Achmad Jalaludin Akbar Mohon Tunggu... mahasiswa

suka berkarya

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ketika cinta tumbuh dibalik tombol blokir

24 Juni 2025   00:00 Diperbarui: 23 Juni 2025   22:11 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:open IA.WWW.COM

                                                                                                                       

Di tengah derasnya arus komunikasi digital, hubungan manusia tampak begitu mudah terhubung dan sekaligus mudah terputus. Cukup satu tombol “blokir” di media sosial, semua akses seolah lenyap. Tidak ada lagi pesan, tidak ada lagi status atau story, bahkan jejak pencarian pun terhapus. Namun anehnya, di balik pemutusan itu, sering kali justru lahir kesadaran mendalam: bahwa cinta itu belum selesai.

Fenomena cinta yang tumbuh dari blokir bukan lagi cerita asing. Banyak yang mengaku mulai menyadari arti kehadiran seseorang justru ketika ia menghilang dari layar sosial media.''Blokir'', yang semula dimaksudkan sebagai bentuk marah, kecewa, atau jenuh, justru menjadi ruang kontemplasi yang menyakitkan tapi menyadarkan. Dalam diam, muncul kerinduan. Dalam keterputusan, lahirlah sebuah pemahaman,blokir sering dianggap sebagai akhir dari segalanya.

 Namun dalam banyak kasus, tindakan ini justru menjadi semacam “wake-up call”baik bagi yang memblokir maupun yang diblokir. Saat kebebasan berkomunikasi diputus, barulah terasa bahwa kehadiran digital ternyata sangat berpengaruh secara emosional. Banyak yang akhirnya menyadari, bahwa cinta tak selalu perlu banyak kata, tapi sangat terasa ketika hening. tentu tidak semua blokir berujung cinta. 

Namun penting untuk dicatat bahwa relasi manusia tidak pernah sesederhana fitur dalam aplikasi. Di balik tombol itu, ada ego, emosi, harapan, dan kerap kali cinta yang tak tahu cara mengekspresikan diri dengan benar.di era serba instan ini, mungkin kita butuh lebih banyak jeda seperti itu bukan?untuk saling melukai, tetapi untuk saling memahami. Cinta yang tumbuh dari blokir adalah cinta yang dipaksa dewasa. Ia lahir bukan dari rayuan, tetapi dari perenungan. Ia tumbuh bukan karena selalu dekat, tapi karena kehilangan terasa terlalu sunyi untuk diabaikan.

Dan pada akhirnya, jika cinta itu kembali setelah diblokir,mungkin ia datang bukan untuk mengulang kesalahan,

tapi untuk bertumbuh lebih kuat dari sebelumnya.namun kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak semua kisah cinta yang tumbuh dari blokir berakhir bahagia. Ada pula yang berujung pada luka lebih dalam, karena keterputusan digital menjadi awal dari keter asingan emosional yang permanen. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak menggantungkan makna cinta hanya pada kehadiran virtual,Blokir bukan solusi utama dalam hubungan, tetapi bisa menjadi ruang jeda yang bermakna jika disikapi dengan dewasa. Ia bisa menjadi alarm untuk meng evaluasi komunikasi, introspeksi diri, dan mengenali kembali arah perasaan yang mungkin sempat kabur oleh ego dan emosi sesaat.

secuil  kata penutup:Jika kamu pernah diblokir oleh seseorang,jangan buru-buru menyimpulkan bahwa itu  adalah akhir dari segalanya.bisa jadi itu adalah jeda yang diperlukan untuk menyusun kembali perasaan yang kusut. Dan jika kamu memutuskan memblokir seseorang, pastikan itu bukan karena emosi sesaat, tapi karena kamu butuh ruang untuk menyembuhkan.Karena pada akhirnya, cinta yang mampu bertahan setelah diblokir adalah cinta yang tidak hanya hadir di layar,tetapi tumbuh dalam hening,dan kembali dalam bentuk yang lebih ikhlas

penulis: achmad

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun