Mohon tunggu...
Achmad Humaidy
Achmad Humaidy Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger -- Challenger -- Entertainer

#BloggerEksis My Instagram: @me_eksis My Twitter: @me_idy My Blog: https://www.blogger-eksis.my.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Posesif" Mengenal Cinta dari Garis Keras Impresif

30 November 2017   10:56 Diperbarui: 30 November 2017   10:59 2392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cinta punya makna berbeda dari sudut pandang masing-masing pribadi. Semiotika tersebut dibentuk atas pengaruh lingkungan dan pengalaman. Seiring hal-hal yang sifatnya menjadi budaya, bukan tak mungkin cinta akan terbentur rasa dan logika sehingga berbanding terbalik untuk mengungkapkan cinta itu seperti apa.

Sebagai produk budaya, film memproduksi dan mereproduksi kebudayaan bangsa. Film sebagai media yang dapat merekam berbagai ekspresi budaya dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Film merupakan salah satu sarana paling efektif dalam mentransmisi dan mewariskan cara maupun pola berfikir dalam suatu masyarakat ke generasi penerusnya.

Produksi film bertema cerita remaja memang memiliki tantangan tersendiri. Ada tingkat kemudahan, karena cerita terbiasa memuat dinamika kehidupan remaja yang digambarkan relatif lebih sederhana dibanding kisah orang dewasa yang kompleks dengan segala problematika. Hanya saja, tim produksi akan mengalami kesulitan jika tidak memiliki sudut pandang tepat yang  ringan untuk menerjemahkan sisi remaja kekinian tersebut secara nyata karena daya pikir remaja begitu kritis.

Perfilman Indonesia sudah banyak mengangkat kisah cinta yang dialami remaja putih abu-abu. Roman picisan dalam kisah cinta anak sekolahan menjadi pakem andalan yang mewarnai aspek tematis dan genrejagat bioskop tanah air. Sebut saja, Ada Apa Dengan Cinta? (2002), Eiffel I'm In Love (2003), Dealova (2005), Realita Cinta Rock 'N Roll (2006), Putih Abu-Abu dan Sepatu Kets (2009), Belum Cukup Umur (2010), Radio Galau Fm (2012), Bangun Lagi Dong Lupus (2013), Refrain (2013), 3600 Detik (2014), Marmut Merah Jambu (2014),  Dear Nathan (2017), Galih dan Ratna (2017), dan yang akan menggebrak bioskop di Indonesia berikutnya yaitu Dilan yang diadapatasi dari novel karya Pidi Baiq.

Dari daftar film-film tersebut yang paling menonjol dan mencuri perhatian penulis yaitu film Posesif. Film perdana yang diproduksi oleh Palari Films ini mengangkat sisi kehidupan remaja belia dari sudut pandang 'mainstream' karena berhasil diframing dalam bentuk narasi ringan yang populer.

Cinta itu tidak selalu terang. Ada sisi gelap yang membuat kelam. Mungkin kita hanya ingin menunjukkan kasih sayang, namun ungkapan yang salah bisa berujung pada bahaya dan mempertaruhkan janji untuk setia bersama.

Seperti yang dialami oleh atlet loncat indah bernama Lala. Kegamangan merasuki hidupnya dalam mencari jawaban atas pertanyaan 'apa artinya cinta?' memberi spekulasi hidup yang penuh idiom. Apakah cinta itu bagai loncat indah, yang bila gagal harus ia coba lagi karena kesetiaan butuh perjuangan? Atau ia harus rela tenggelam dan menyerah pada keadaan entah untuk hal yang sia-sia atau mungkin layak untuk dipertahankan.

Labilisasi di usia 17 tahun pasti dilalui semua remaja di seluruh dunia. Usia yang konon membuat remaja sangat terdorong untuk mengikuti kata hati untuk 'melompat' namun sesungguhnya mereka belum begitu yakin atas keputusan yang harus diambil. Film Posesif memperlihatkan problematik ini dari segi kebetulan yang bisa diatur begitu saja. Tidak harus terbelit dalam kisah drama klasik, ada suspense yang muncul meski pahit. Banyak hal tentang cinta yang begitu takjub sekaligus menakutkan jika dipandang dari remaja zaman now.

twitter @babibutafilms
twitter @babibutafilms
Adegan pembuka Posesif yang meet cute langsung membius penonton. Lala (Putri Marino) merupakan seorang pelajar kelas tiga SMA dan atlet loncat indah. Setelah beritanya viral di sekolah karena telah meraih perunggu dalam ajang Pekan Olahraga Nasional (PON), Ia kembali menjalani hari-harinya jelang Ujian Nasional (UN). Ia bertemu dengan siswa baru yang tampan bernama Yudhis (Adipati Dolken) saat menjalani hukuman di sekolahnya. Hukuman diberikan oleh Ismail Basbeth yang berperan sebagai guru olahraga di sekolah. Mereka pun berjalan bersama ditertawakan satu sekolah karena tali sepatu yang mereka kenakan harus tetap bersatu. Adegan manis untuk suatu prefiks visual yang relevan.

Dalam waktu singkat, keduanya langsung melakukan pendekatan dan pacaran. Meski memiliki banyak perbedaan, mereka menjalani masa awal tersebut dengan penuh mesra. Intensitas pertemuan setiap hari memunculkan argumentasi dari suasana yang terjadi. Konsentrasi Lala untuk latihan demi kejuaraan loncat indah mulai terganggu, Yudhis pun semakin menunjukkan watak aslinya tanpa ragu. Dengan hubungan asmara yang semakin dalam, Lala mulai merasakan gejolak didalam dirinya.

Lala  merasa tidak diperlakukan secara adil oleh ayahnya (Yayu Unru) yang sekaligus merupakan pelatih tim kejuaraan loncat indah. Saat latihan, Ia selalu dibandingkan kehebatannya dengan atlet lain. Lala pun mulai gagal fokus saat menjalani latihan-latihan di kolam renang. Ayah Lala semakin menerapkan kedisiplinan terhadap anaknya, baik di arena latihan maupun di rumah.

Yudhis datang dan setia menunggu Lala untuk latihan. Obsesi Yudhis selalu ingin bersama Lala. Sosok Yudhis seolah membawa kebahagiaan tersendiri bagi Lala. Yudhis mulai melindungi Lala, melakukan segala cara untuk 'membalas' orang-orang disekitar Lala yang dianggap menyakiti kekasihnya.

Sifat kepemilikan Yudhis terhadap Lala sudah mencapai batas tidak wajar. Perlahan tapi pasti, Yudhis mulai menguasai kehidupan Lala. Yudhis tidak mampu mengontrol egonya sehingga Ia mencelakai Rino (Chicco Kurniawan) karena dianggap terlalu dekat dengan Lala. Yudhis memandang bahwa Rino sebagai benalu dalam hubungan 'cinta monyet' ala Yudhis dan Lala. Kecelakaan pun menimpa Rino, sahabat Lala sejak SD.

Perhatian dan rasa ingin memiliki Yudhis terhadap Lala yang sangat berlebihan terus mengganggu Lala. Hal ini juga mulai dirasakan oleh Ega dan Rino yang melihat perubahan dalam diri Lala. Ia menjadi semakin tidak punya waktu untuk kumpul bersama sahabatnya. Bahkan Yudhis berhasil membuat Lala mundur dari tim atlet yang akan berlaga di kejuaraan mendatang. Yudhis  berhasil "menarik" Lala keluar dari rutinitasnya dan menjadikan hubungan mereka berdua sebagai prioritas.

Trailer Film Posesif
Trailer Film Posesif
Pembelajaran dalam proses bercinta pun dimulai. Pacaran yang dituding sebagai proses pembuktian cinta, nyatanya tak selalu indah dalam nuansa hati yang berbunga-bunga. Sikap posesif Yudhis bahkan ringan tangan terhadap Lala menjadi dilema tersendiri bagi Lala. Entah harus bertahan atau meninggalkan semua kisah cinta pertama ditengah semua sikap posesif dari lingkungan sekitar.

Kekerasan dalam pacaran menjadi bentuk pemaksaan atas hubungan yang tidak baik. Rasa takut berlebihan dan ketidakpercayaan akan membawa penonton pada adegan percintaan yang tidak harus dirayakan.

Dalam beberapa kesempatan, Yudhis melakukan tindak kekerasan terhadap Lala sebagai akibat dari ketidakmampuannya untuk mengontrol emosi. Terlepas dari itu, Lala masih memberi toleransi atas sikap Yudhis, terlebih saat Lala melihat dengan mata kepala sendiri bahwa sikap posesif Yudhis terbentuk atas pengaruh ibu Yudhis (Cut Mini) yang mendidik anaknya dengan cara begitu keras tidak kenal batas.

Ibu Yudhis menjadi single parent sejak ditinggal suaminya saat Yudhis kecil. Sakit hati ini kemudian membekas dan ia lampiaskan kepada Yudhis. Ia ingin Yudhis mengikuti seluruh kemauannya, bahkan ia tak segan melakukan kekerasan fisik kepada anak semata wayangnya itu.

Di depan sang ibu, Yudhis sangat inferior, tidak berani membantah dan tak berdaya. Ibunya tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun sehingga akan melakukan segala cara agar Yudhis menuruti perintahnya, sama seperti Yudhis yang selalu berhasil memaksakan keinginannya pada Lala. Apapun itu caranya.

Latar belakang keluarga Lala juga memiliki kondisi yang hampir sama. Ayah Lala menjadi pelatih loncat indah dan terobsesi agar anaknya bisa menyamai prestasi mendiang ibunya.

Terlihat jelas bahwa keluarga akan mempengaruhi segala yang terjadi pada masa pertumbuhan anak-anaknya. Pembentukan sifat dan karakter anak akan terbentuk atas dasar kedekatan hubungan anak dengan orangtuanya. Kepribadian seperti itu yang akan dibawa keluar lingkungan rumah dan mereka mulai memperlakukan orang-orang terdekat disekitarnya seperti keluarga yang telah menerjemahkan itu di rumah. Kondisi demikian juga terjadi dengan Yudhis. Peran Ibu divisualisasikan sering bertindak keras terhadap Yudis dengan alasan ungkapan kasih sayang.

Peran orang tua menjadi begitu penting pada perkembangan anak di usia remaja. Proses pencarian jati diri akan semakin mudah dipengaruhi saat kondisi emosi dan pemikiran mereka masih mengambang. "Kita sama-sama diminta untuk dengerin mereka, tapi apa mereka mau dengerin kita !." Dialog ini merupakan rekam ucap saat anak-anak seperti Yudhis dan Lala merasa telah 'dibentuk secara paksa' untuk menjadi segala hal yang tidak sesuai dengan ekspetasi mereka. Bagian ini seharusnya bisa menjadi refleksi bagi orangtua dalam mendidik anak-anaknya kelak.

Poster Film Posesif
Poster Film Posesif
Ini cinta pertama Lala, Yudhis ingin selamanya. Premis ini mampu mengikat film menjadi kesatuan utuh. Saat Lala mengetahui tentang perlakuan ibu Yudhis terhadap anaknya di rumah, saat itu juga kondisi psikologis mereka mulai berbalik arah. Lala mulai berpikir untuk menyelamatkan Yudhis dari orang-orang yang telah menyakiti pasangannya. Namun, Yudhis semakin ketakutan karena sadar bahwa Lala akan terus tersakiti jika bersama dirinya.

Akhirnya, Yudhis memilih untuk meninggalkan Lala. Keputusan tersebut menjadi tekad bulat atas ketulusan cintanya. Lala semakin rapuh menghadapi ego kekasihnya yang ternyata salah dipertahankan dan tak seindah yang dibayangkan. Meski adegan Lala yang ditinggal Yudhis di jalan hingga harus kembali lagi ke rumah sendirian terlalu dipaksakan. Adegan itu hanya untuk memberi tahu penonton bahwa ada perpisahan yang terjadi setelah pertemuan untuk yang kesekian kali.

Yudhis akan selalu menjadi kekasih yang selalu ada di dekat Lala. Ayah Lala akan selalu berusaha mewujudkan impian masa depan Lala yang bisa menjadi atlet seperti sosok ibunya yang sudah tiada. Sementara sahabat Lala akan menjadi pengingat kejadian-kejadian penuh tekanan yang akan atau sudah dialami Lala karena semua terasa menyesakkan bagi semua pihak yang begitu posesif.

Gelora keras perasaan Yudhis menjadi konstelasi antara rasa sayang dan rasa takut yang berlebihan. Ketidakseimbangan emosi Yudhis memberi impresi terhadap Lala akan ketakutannya menghadapi gejolak-gejolak yang timbul saat masa berpacaran. Yudhis bisa dengan mudah menunjukkan kemarahannya secara kasar, di sisi lain ia bisa berkontemplasi dengan minta maaf secara manis.

Ginatri S. Noer (pernah menulis naskah Ayat-Ayat Cinta, Hari Untuk Amanda, Habibie & Ainun, dan Perempuang Berkalung Sorban) cukup telaten dalam mengkolaborasikan cerita dengan asupan latar psikologis dan sosiologis ke dalam bentuk skenario. Yudhis dan Lala yang menjalani hubungan tidak sehat mampu direkam dengan baik secara dua arah dari sisi pelaku dan korban. Ancaman, kebohongan, dan kepercayaan hadir melalui motif latar belakang keluarga mereka masing-masing dalam nuansa adegan yang mencekam penuh tekanan.

Twitter @ginaSnoer
Twitter @ginaSnoer
Pelengkap kisah pun terjadi, saat teman-teman Lala masuk ke dalam kisah asmara yang tidak disuka oleh Yudhis. Sahabat Lala yang bernama Rino dan Ega tampil memberi kisah saat pertengahan film, namun tiba-tiba hilang begitu saja hingga akhir film usai. Padahal, Rino dan Ega berperan menghilangkan kejenuhan hati Lala. Mereka juga mendukung hubungan Lala dan Yudhis.

Mungkin saja penulis naskah memang tidak ingin membuat konflik yang terlalu berat di luar kisah cinta Lala dan Yudhis agar penonton tetap fokus. Tapi, pondasi hubungan yang mereka jalani sejak awal adegan memberi kesan tergesa-gesa. Jatuh cinta secara instan dan tak membutuhkan waktu lama untuk merasa nyaman dalam mengutarakan perasaan.

Sampai menjelang babak tengah dan akhir, durasi dihabiskan dengan adegan demi adegan tarik ulur emosional karakter antara Lala dan Yudhis. Sisi kelam hubungan remaja yang terjebak asmara. Penonton pun dibiarkan berpikir, mengapa Lala sampai sejauh itu mempertahankan hubungannya dengan Yudhis, meski kerap dikecewakan.

Pengulangan adegan terjadi saat Yudhis mulai melakukan kekerasan fisik terhadap Lala. Setelah itu Yudhis datang mengharap iba untuk meminta maaf dari Lala. Padahal masih banyak sisi yang bisa dieksplorasi karena banyak hal yang menghalangi hubungan mereka, termasuk orang tua dan juga diri mereka masing-masing.

Sosok ayah yang berada di kehidupan Lala dan ibu yang memiliki cara lain untuk mengungkapkan sayang dengan Yudhis sengaja diperlihatkan sebagai orang tua tunggal. Ayah Lala merupakan seorang pelatih loncat indah yang disiplin dan ibu Yudhis digambarkan mendominasi pembentukan karakter Yudhis sejak dikecewakan oleh suaminya. Secara detail, hanya kisah keluarga Lala yang dicermati oleh naskah dan berhasil melangkah untuk mempengaruhi aksi dan reaksi adegan tokoh Lala. Sementara latar keluarga Yudhis hanya tampak sebagai tempelan karena penonton tidak dijelaskan secara lebih lanjut kisah masa lalu ibu Yudhis.

Pergerakan senyap Posesif yang telah lulus sensor untuk kategori 13+ tetap menjadi 'kuda hitam' saat bersaing sebagai film terbaik tahun ini. Namun, nuansa-nuansa konstruksi adegan tidak begitu kental dibuat sehingga kurang melekat. Padahal, kekuatan adegan terjadi saat karakter-karakter mampu memainkan emosi dan berhasil membangun suasana agar penonton terperangkap di dalam sana. Ada adegan saat Yudhis menggampar Lala di sekolah, bahkan Ibu Yudhis yang juga menggampar anaknya sendiri. Sayang sekali hanya adegan ini saja yang tampak kuat.

Hingga di akhir film yang diproduseri oleh Muhammad Zaidy dan Meiske Taurisia, Posesif menjadi semakin gantung. Naik turun cerita tidak begitu terasa. Sentuhan drama yang sudah bagus dibangun dalam bentuk emosional tidak menjadi sesuatu yang vital sebagai penyelesaian. Hanya menyisakan karakter-karakter posesif yang memang dibangun untuk sekedar meramaikan.

Penulis begitu terkejut saat lagu "Dan" dari Sheila on 7 mengisi musik dari film ini. Durasi lagu ini diputar cukup lama dan cukup mewakili isi hati Lala dan Yudhis. Mereka berdua pun seolah  berusaha mengajak penonton untuk ikut bernyanyi bersama di dalam gedung bioskop. Hanya saja lagu "Posesif" dari Naif lebih pas jika ditampilkan juga dalam salah satu adegan agar kisah dengan unsur psikologis ini mampu diresapi secara dalam.

Twitter @KapanLagicom
Twitter @KapanLagicom
Namun, kemasan film Posesif tetap memberi aware menjadi film yang layak ditonton. Penonton akan menyimak permainan karakter dari jajaran aktor dan aktris yang berperan didalamnya. Ada pendatang baru, Putri Marino yang begitu lihai sebagai atlet loncat indah dengan didukung oleh Yayu Unru sebagai pelatih sekaligus ayahnya yang berwatak keras. Begitu juga dengan Adipati Dolken dan Cut Mini yang berperan sebagai anak dan ibu. Chemistry terbangun begitu natural sehingga mampu meyakinkan penonton.

Hanya saja Putri dan Yayu mendapat porsi lebih besar dalam cerita sehingga pengembangan karakter mereka begitu terdeteksi alami. Mereka layak mendapat apresiasi Piala Citra sebagai aktris terbaik dan aktor pendukung terbaik dalam FFI 2017. Mereka mampu mengalahkan aktris dan aktor senior di film-film Indonesia lainnya. Lala mampu tampil prima dengan segala dilema yang dialaminya. Sementara karakter Ayah Lala semakin kuat dan tegas saat mengetahui kondisi hubungan anak kandungnya dengan Yudhis tak selalu manis.

Kepiawaian akting pemain mampu ditangkap langsung oleh Edwin sebagai seorang sutradara. Posesif menjadi film panjang ketiga sekaligus film pertama Edwin yang tayang pada jalur komersil. Setelah karya sebelumnya sukses di kancah internasional, seperti "Babi Buta yang Ingin Terbang" [2008] dan "Postcards from the Zoo" [2012]). Edwin mampu menggali potensi yang luar biasa dalam menggarap setiap karyanya. Dengan mempertahankan esensi film sebagai visual yang intens, Ia pantas bersinar menjadi sutradara terbaik FFI 2017 melalui film Posesif.

Kekuatan dari komando eksplorasi Edwin dalam film ini juga begitu mudah dicerna. Ia berupaya menerjemahkan perasaan dalam bahasa visual. Ia keluar dari zona nyaman sehingga rona film lebih gurih untuk dinikmati dan berbeda dengan film-film dengan tema cinta yang lain. Edwin menjebak penonton untuk tidak meninggalkan kursi di bioskop dengan ketegangan yang penuh tekanan.

Dengan pergerakan karakter yang komunikatif kompleks, film ini punya perspektif tema yang diungkap tidak hanya dari satu dimensi saja. Karakter-karakter posesif yang saling beradu argumen dalam film ini tidak semata-mata pretensi belaka. Penonton akan mudah mengerti ikatan emosi saat menonton film ini. Kedekatan masing-masing karakter memberi kesan geram, kasihan, maupun haru dalam film yang terpadu. Ini menjadi film langka yang jarang terjadi dalam tema cinta remaja.

Penonton akan melihat benang merah antara keluarga dan lingkungan yang membelenggu kehidupan Lala. Setiap keputusan yang Lala ambil akan mendapat benturan dari pacar, ayah, bahkan sahabat-sahabatnya. Mereka coba memberi hal-hal yang terbaik untuk kehidupan Lala, meski Lala selalu mengambil langkah sendiri yang tidak pasti. Konflik yang begitu relateable.

Hanya diending saja penulis kurang suka. It sohappily ever after. Selebihnya  memang kualitas film ini turut mengaduk emosi penonton yang tidak hanya sebatas melodrama. Ada realisasi tentang keluh kesah cinta yang begitu dalam dari ungkapan rasa memiliki dan dimiliki. Posesif pun berhasil membuka mata penonton untuk tidak nestapa sama sekali saat melihat romantika kasih sayang diungkap dalam sisi garis keras impresif sekalipun.

Twitter @dmeiske2
Twitter @dmeiske2

Caci maki saja diriku

Bila itu bisa membuatmu

Kembali bersinar dan berpijar

Seperti dulu kala*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun