Mohon tunggu...
Liza Fathia
Liza Fathia Mohon Tunggu... Dokter - Tentang Saya

Seorang pembelajar yang selalu haus akan ilmu pengetahuan https://liza-fathia.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Nasib Nisan “Batu Aceh” yang Menyedihkan

6 Februari 2014   23:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_321003" align="aligncenter" width="640" caption="Nisan "][/caption]

Batu berukiran sulur dan kaligrafi arab itu tergeletak begitu saja di atas tanah. Di antarnya ada yang telah tertimbun dan menyata dengan warna tanah. Bentuk batu itu sudah tidak lagi utuh, terlihat beberapa bagiannya yang telah patah dan tersebar di mana-mana, ada juga yang berlumut. Batu itu adalah batu Aceh, nama lain yang disematkan untuk nisan umara dan ulama Aceh tempo dulu. Sampah-sampah plastik dan botol bekas minuman juga berserakan di sana sehingga sulit membedakan apakah tempat tersebut adalah areal pemakaman atau tempat pembuangan sampah.

***

Siang itu, saya dan suami sebenarnya hendak makan siang di sebuah warung yang terletak di Lamcot, Darul Imarah, Aceh Besar. Bang Thunis merekomendasikan tempat tersebut karena dulu beliau pernah KKN (kuliah kerja nyata) di sana. Ia ingin bernostalgia sambil mengisi perut di desa tersebut.

Sebuah warung di samping meunasah Lamcot adalah tujuan kami. Bangunannya terbuat dari kayu, dindingnya hanya seperempat saja yang tertutup dengan pelepah rumbia, selebihnya dibiarkan terbuka agar udara segar dari sawah di seberang jalan masuk ke dalam warung. Atapnya juga terbuat dari daun rumbia sehingga ketika angin berhembus kencang dedaunan kering itu menimbulkan bunyi yang khas.

Warung ini sudah reot, pengunjungnya juga tidak banyak. Maklum, warung nasi di kampung memang jarang ada yang beli karena masyarakat di sana lebih suka menyantap makanan di rumah sendiri. Yang menjadi langganan warung itu adalah tukang bangunan yang datang dari luar Aceh yang sedang menyelesaikan sebuah perkantoran yang letaknya beberapa meter dari warung.

Setelah mengambil sepiring nasi lengkap dengan lauk, saya mengajak Bang Thunis ke belakang. Di sana ada beberapa meja dan kursi yang di sediakan oleh pemilik warung. Letaknya juga lebih tinggi dari jalan dan warung sehingga angin sawah lebih banyak berhembus. Kami pun mengambil tempat di meja yang diletakkan tepat di tengah-tengah pepohonan besar nan rimbun. Meja tempat kami meletakkan nasi adalah kulkas rusak yang tidak dapat digunakan lagi.

[caption id="attachment_321004" align="aligncenter" width="640" caption="Pemakaman kuno yang dijadikan tempat makan"]

13917034982070362817
13917034982070362817
[/caption]

Selesai makan dan sambil menikmati angin sepoi-sepoi, pandangan saya tertuju pada sebuah batu yang terletak tidak jauh dari tempat duduk saya. “Bang, itu nisan kuno!” seruku terkejut.

“Iya, Dek. Banyak batu nisan di sini. Kayaknya tempat kita sekarang kuburan lah,” Bang Thunis ternyata juga baru mengetahui kalau tempat kami berada sekarang adalah kuburan. Bukannya takut, saya malah penasaran dengan batu nisan yang berserakan di sekitar kami.

Di seluruh areal tempat duduk kami terdapat nisan “batu Aceh” yang tidak lagi utuh. Ada yang tergeletak begitu saja di akar pepohonan, ada nisan besar yang telah roboh dan ditutupi tanah. Hanya beberapa nisan yang juga tidak lagi utuh yang diletakkan secara terpisah kira-kira sekitar satu meter dari tempat kami berada.

Ketika melihat ke bawah bangku tempat saya duduk, lagi-lagi ada potongan batu nisan di sana. Di sekitar kandang ayam yang tidak jauh dari tempat kami juga ada batu nisan. Tidak salah lagi, tempat ini adalah pemakaman kuno yang terbengkalai. Parahnya lagi, pemiliki warung seakan tidak peduli dengan kenyataan ini. Ketika saya mengatakan kalau ini adalah pemakaman kuno, perempuan keturunan Jawa itu tampak mengacuhkan ucapan saya.

13917035452095424645
13917035452095424645

Memang, sangat banyak pemakaman kuno Aceh yang terbengkalai. Kalau pun mendapatkan perawatan itu atas inisiatif pihak keluarga dan sangat sedikit campur tangan pemerintah. Selebihnya kondisinya tidak lebih baik dari apa yang saya temui di kampung Lamcot ini. Contohnya saja saat saya ke Kampung Pande, Banda Aceh beberapa waktu silam. Sangat banyak nisan kuno yang tergeletak begitu saja di tambak ikan dan perumahan warga. Tidak sedikit pula batu-batu hasil kerajinan masyarakat Aceh tempo dulu itu yang dijadikan batu asah pisau dan parang.

Padahal, nisan-nisan tersebut adalah bukti nyata sejarah tempo dulu. Bukti kalau masyarakat Aceh sangat lihai dalam mengukir batu menjadi ukiran-ukiran flora dan kaligrafi yang indah. Bukti nyata bahwa seni “batu Aceh” merupakan suatu tradisi kesenian Islam yang amat berarti bagi seluruh kawasan Nusantara.

Semoga pemerintah Aceh Besar segera memugar kompleks pemakaman di Lamcot agar tampak jelas kalau tempat tersebut adalah makam. Batu nisan yang hancur dan tertanam di dalam tanah hendaknya direposisi letaknya. Mungkin untuk mengembalikan ke wujud asli sudah mustahil tetapi setidaknya yang telah tertimbun tanah tidak semakin masuk ke dalam sehingga tidak terlihat lagi. Identifikasi makam juga perlu dilakukan agar kita semua tahu tentang sejarah kebudayaan Islam yang berkembang di Lamcot. Pernah saya bertanya pada beberapa orang Lamcot yang saya temui, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang tahu tentang sejarah makam yang ada di belakang warung nasi tersebut.

13917035961212273192
13917035961212273192

Mungkin pepatah Aceh yang mengatakan ”Mate aneuk meupat jeurat mate adat pat ta mita” (Anak yang meninggal dapat diketahui makamnya, Adat yang hilang hendak dicari kemana) sudah tidak berlaku lagi zaman ini. Sekarang, tidak hanya adat istiadat Aceh yang mulai mati, makam pendahulu yang menjadi bukti sejarah kemegahan Aceh masa lalu kini sudah sulit ditemukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun