Bulan Agustus selalu datang dengan warna merah putih yang mendominasi jalanan. Spanduk bertuliskan "Dirgahayu Republik Indonesia" terbentang di perempatan, lagu-lagu perjuangan berkumandang dari pengeras suara. Kita menyebut diri sebagai bangsa yang bersatu, berdaulat, sejahtera, dan aman. Tapi di balik gegap gempita itu, kenyataan kadang berbisik lain. Di antara kata-kata indah itu, hidup kita justru menyimpan paradoks.
1. Bersatu: Di Panggung, Terpisah di Layar
Setiap perayaan kemerdekaan, kata "bersatu" dilafalkan dengan lantang. Upacara bendera, lomba rakyat, dan pawai budaya menunjukkan wajah keberagaman yang harmonis. Kita berbaris rapi di lapangan, tersenyum bersama, dan saling menyapa meski tak saling kenal.
Namun, bersatu di dunia nyata tidak selalu sama dengan bersatu di dunia maya. Di layar ponsel, kita kadang cepat terbakar oleh perbedaan pendapat, mengelompok pada lingkaran yang nyaman, lalu menuding yang lain sebagai lawan. Perbedaan yang seharusnya jadi kekayaan, berubah jadi senjata.
Bersatu, ternyata, sering kali berhenti pada momen seremonial. Ketika lagu kebangsaan usai, dan bendera telah turun, kita kembali ke sudut masing-masing, memelihara jarak yang tak kasat mata. Bersatu menjadi slogan tahunan, bukan sikap harian.
2. Berdaulat: Di Bibir Tegas, di Kenyataan Tergantung
Kata "berdaulat" menggetarkan telinga saat diucapkan. Ia mengingatkan kita pada masa ketika bangsa ini menolak tunduk pada penjajah, berdiri tegak di atas kaki sendiri. Sumber daya alam kita disebut luar biasa, dari laut hingga gunung, dari tambang hingga sawah.
Namun, kedaulatan sering tergerus di meja perundingan. Izin tambang berpindah ke pihak asing, harga komoditas bergantung pada pasar global, dan kebijakan kerap mengikuti tekanan luar. Kita berdaulat dalam orasi, tapi sering menunggu arahan dari luar untuk melangkah.
Berdaulat berarti bebas menentukan arah, tapi paradoksnya, kita kadang tak berani mengambil jalan yang berat. Pilihan jangka pendek mengalahkan visi panjang. Kedaulatan itu indah di pidato, tapi rapuh di kenyataan.
3. Sejahtera dan Aman: Di Slogan Nyata, di Hidup Masih Jauh
Kesejahteraan selalu menjadi janji yang diulang setiap tahun. Angka-angka statistik yang menurun dipamerkan sebagai bukti, dan baliho besar memajang senyum petani dan nelayan. Kita diberi kabar bahwa bangsa ini semakin makmur.
Tapi di pasar, harga beras tetap membuat kening berkerut. Di gang sempit, ada yang harus memilih antara membeli lauk atau membayar sekolah anak. Kesejahteraan yang dibanggakan terasa jauh bagi mereka yang harus berjuang dari pagi hingga larut malam hanya untuk bertahan.
Keamanan pun tak sepenuhnya terasa. Di beberapa sudut kota, orang masih enggan berjalan sendiri di malam hari. Rasa aman kadang hanya berlaku di area tertentu, sementara di tempat lain, orang hidup dengan waspada setiap saat. Aman di spanduk, tapi belum tentu di jalanan.
Penutup
Empat kata---bersatu, berdaulat, sejahtera, dan aman---terlihat gagah di baliho kemerdekaan. Mereka terdengar indah di mikrofon, memikat di media sosial, dan membanggakan di buku sejarah. Tapi kemerdekaan sejati menguji kita di luar tanggal 17 Agustus, ketika tak ada upacara, tak ada lomba, dan tak ada kamera. Di sanalah, paradoks akan hilang jika kita mau mengubahnya menjadi kenyataan.
"Kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan emas. Di seberangnya, ada tugas berat yang menunggu: membangun masyarakat adil dan makmur." --- Soekarno
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI