Bab 6 - Satu Pasien, Seribu Pertanyaan
Hari itu, Arya tidak sedang berdebat dengan dokter. Tidak pula ditegur pemilik apotek. Tidak ada konflik dramatis. Tapi justru di hari yang biasa itu, datanglah satu pasien yang akan membuat Arya berpikir lebih panjang dari biasanya.
Namanya Pak Hasyim, usia 61 tahun, pensiunan guru matematika. Badannya kurus, jalannya pelan, dan suaranya berat. Ia datang membawa satu kantong plastik besar berisi obat-obatan.
"Mas, saya bingung. Ini obat semua dari dokter-dokter yang berbeda. Tapi saya makin pusing dan gak ngerti mana yang harus saya minum."
Arya membuka plastik itu dan mendadak merasa seperti sedang menghadapi soal ujian farmakoterapi semester akhir.
- Amlodipin
- Captopril
- Simvastatin
- Metformin
- Glibenklamid
- Omeprazole
- Suplemen vitamin
- Diazepam
- Alprazolam
Arya mengerutkan dahi.
Obat hipertensi ada dua, antidiabetik dobel, dua benzodiazepin, ditambah statin, PPI, dan suplemen. Belum termasuk jamu dari tetangga yang katanya "buat cuci darah".
"Ini semua Bapak minum bersamaan?" tanya Arya pelan.
Pak Hasyim mengangguk. "Iya, kata mereka semua penting. Saya takut salah, jadi ya saya minum semua aja tiap hari."
Arya menarik kursi. Kali ini ia tidak buru-buru menulis label, tidak langsung menyarankan "minum sesuai aturan".
Kali ini ia ingin mendengarkan.
Arya mulai menyusun logika dalam kepalanya. Ada potensi duplikasi terapi, ada interaksi yang mungkin terjadi. Belum lagi risiko hipoglikemia dari kombinasi Metformin dan Glibenklamid, ditambah penggunaan benzodiazepin jangka panjang.
Tapi yang paling mengganggunya adalah satu pertanyaan: kenapa tidak ada yang mengedukasi pasien ini sebelumnya?
"Pak Hasyim, saya boleh bantu susun ulang pengobatan Bapak agar lebih aman?"
Pak Hasyim tersenyum lelah. "Saya justru ke sini karena gak ngerti. Kalau Mas bisa bantu, saya sangat bersyukur."
Selama satu jam, Arya menjadi apoteker yang seharusnya.
Ia tidak menjual. Ia tidak sekadar menyiapkan. Ia tidak sibuk mengejar target penjualan.
Ia mendampingi. Ia menjelaskan dosis, waktu minum, potensi efek samping. Ia buatkan jadwal minum obat sederhana di kertas, lengkap dengan kotak kecil tempat Pak Hasyim bisa mencentang harian.
Dan yang paling penting, ia menyarankan Pak Hasyim kembali ke dokter utama dengan daftar obat yang sudah dikonsolidasikan. Supaya ada satu arah, bukan lima kepala.
Sebelum pergi, Pak Hasyim menggenggam tangan Arya.
"Mas Arya... saya baru sekali ini merasa dijelaskan dengan jelas. Biasanya saya cuma dikasih obat, gak ngerti apa-apa. Tapi Mas bikin saya berani tanya."
Arya mengangguk, nyaris tak bisa berkata-kata.
Dalam hati, ia sadar: dia tidak mengubah sistem hari ini. Tapi mungkin, dia mengubah hidup satu orang.
Dan satu orang cukup untuk memulai.
Malam itu, Arya menuliskan sesuatu di jurnalnya:
"Hari ini saya tidak menolak resep. Tidak pula berdebat soal aturan. Hari ini saya mendengarkan. Dan ternyata, dari semua keterampilan yang saya pelajari di bangku kuliah, yang paling penting adalah: berani mendengar, dan sabar menjelaskan. Bahkan kalau yang mendengarkan cuma satu orang. Karena satu orang bisa jadi awal gelombang yang panjang."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI