Arya mulai menyusun logika dalam kepalanya. Ada potensi duplikasi terapi, ada interaksi yang mungkin terjadi. Belum lagi risiko hipoglikemia dari kombinasi Metformin dan Glibenklamid, ditambah penggunaan benzodiazepin jangka panjang.
Tapi yang paling mengganggunya adalah satu pertanyaan: kenapa tidak ada yang mengedukasi pasien ini sebelumnya?
"Pak Hasyim, saya boleh bantu susun ulang pengobatan Bapak agar lebih aman?"
Pak Hasyim tersenyum lelah. "Saya justru ke sini karena gak ngerti. Kalau Mas bisa bantu, saya sangat bersyukur."
Selama satu jam, Arya menjadi apoteker yang seharusnya.
Ia tidak menjual. Ia tidak sekadar menyiapkan. Ia tidak sibuk mengejar target penjualan.
Ia mendampingi. Ia menjelaskan dosis, waktu minum, potensi efek samping. Ia buatkan jadwal minum obat sederhana di kertas, lengkap dengan kotak kecil tempat Pak Hasyim bisa mencentang harian.
Dan yang paling penting, ia menyarankan Pak Hasyim kembali ke dokter utama dengan daftar obat yang sudah dikonsolidasikan. Supaya ada satu arah, bukan lima kepala.
Sebelum pergi, Pak Hasyim menggenggam tangan Arya.
"Mas Arya... saya baru sekali ini merasa dijelaskan dengan jelas. Biasanya saya cuma dikasih obat, gak ngerti apa-apa. Tapi Mas bikin saya berani tanya."
Arya mengangguk, nyaris tak bisa berkata-kata.