Resep Rahasia Apoteker - Kisah Dibalik Meja Racik (Bab 2)
Bab 2 - Racikan Untung atau Racikan Benar?
Arya sudah tiga minggu bekerja di apotek ini. Dia mulai hafal pola pasien, dari yang hanya mampir beli vitamin sampai yang "langganan" obat keras tanpa resep. Tapi satu hal yang masih terus mengganggunya adalah dilema antara menjalankan profesinya dengan benar atau mengikuti aturan main bisnis di apotek.
Pagi itu, pemilik apotek, seorang pria berusia lima puluhan bernama Pak Hadi, memanggilnya ke ruang belakang. Dengan jas putihnya yang selalu terlihat lebih bersih dibanding Arya---mungkin karena jarang menyentuh meja racik---Pak Hadi duduk di kursi empuknya sambil tersenyum.
"Arya, gimana kerja di sini? Udah mulai nyaman?"
Arya mengangguk. "Alhamdulillah, Pak. Masih banyak belajar, tapi mulai terbiasa."
Pak Hadi tertawa kecil. "Bagus. Apotek ini ramai, kan? Banyak pelanggan tetap." Dia bersandar ke kursinya. "Saya mau ngobrol sedikit soal cara kerja kita di sini."
Arya menegakkan punggungnya. "Silakan, Pak."
"Di sini, kita harus fleksibel, Arya. Yang penting pelanggan puas dan balik lagi. Kalau mereka cari antibiotik tanpa resep, ya kasih aja. Mereka udah biasa gitu. Lagian, kalau gak kita yang jual, apotek sebelah juga pasti kasih."
Jantung Arya berdegup. Ini bukan sekadar kebijakan bisnis biasa. Ini tentang etika profesi.
"Tapi, Pak, itu kan gak sesuai aturan. Antibiotik harus dengan resep dokter. Kita harus edukasi pasien..." Arya mencoba menjelaskan.
Pak Hadi tertawa, kali ini lebih keras. "Ah, Arya, kamu masih idealis, ya? Saya paham, saya paham. Kamu baru lulus, pasti masih berpegang teguh sama buku." Dia mencondongkan badannya ke depan. "Tapi di dunia nyata, pasien gak mau diceramahin. Mereka cuma mau obatnya."