Di sebuah pertandingan besar bernama praktik kefarmasian Indonesia, ada satu hal yang ganjil tapi dianggap biasa: apoteker, sang pemain inti dengan bekal ilmu dan lisensi, justru duduk manis di bangku cadangan. Yang tampil justru tenaga vokasi farmasi---dengan segala keterbatasannya---ditempatkan sebagai starter dalam tim pelayanan.
Sementara para pelatih---pemilik sarana, regulator, bahkan birokrat kesehatan---mengangguk puas dari pinggir lapangan. Bagi mereka, yang penting pertandingan tetap berlangsung. Siapa yang main? Itu urusan belakang.
Strategi Pelatih yang Meragukan
Dalam dunia sepak bola, cadangan tak akan mengubah jalannya permainan. Tapi dalam praktik kefarmasian, cadangan itu bernama apoteker. Pelatih sistemik kita---dari kepala puskesmas, pemilik apotek, direktur rumah sakit hingga pemangku kebijakan---menyusun formasi berdasarkan efisiensi, bukan kompetensi.
Apoteker yang dilatih bertahun-tahun hanya dibutuhkan namanya saja. Untuk apa? Agar apotek lolos izin, agar klinik bisa mencantumkan izin kliniknya, agar lembar kredensial/daftar tilik tetap sah, agar akreditasi menjadi paripurna. Tapi saat pertandingan berjalan, apoteker duduk di luar garis lapangan---kadang bahkan tak tahu apa yang sedang dimainkan.
Paradigma Teknis: Permainan Tanpa Roh
Di balik strategi aneh ini, ada satu pola pikir yang terus dipelihara: layanan farmasi hanyalah urusan logistik. Cukup dengan menerima, menyimpan, dan menyerahkan obat, semua dianggap tuntas. Tak perlu edukasi, tak penting konseling, dan intervensi terapi dianggap berlebihan.
Dalam paradigma ini, tenaga vokasi dianggap cukup. Dan apoteker? Tugasnya tinggal memastikan stempel basah di akhir bulan. Tidak heran bila profesi ini perlahan direduksi menjadi pemain administratif, bukan pemain klinis. Dan tragisnya, banyak apoteker menerima itu dengan pasrah.
Ada yang memang menyerah. Ada yang sudah nyaman. Tapi banyak juga yang terlena---berpikir bahwa selama apotek buka dan gaji masuk, tak perlu bertanya siapa yang benar-benar praktik.
Pemain di Atas Kertas: Nama Ada, Peran Tiada
Kini, apoteker menjelma jadi pemain simbolik. Nama mereka terpampang di papan izin. Gelar mereka dicetak di kop resep. Tapi posisi dan fungsinya sudah digantikan---bukan karena tak mampu, tapi karena sistem lebih memilih praktis.
Mereka hanya dibutuhkan namanya. Perannya telah dikebiri. Dan dalam suasana seperti ini, bukan hanya profesinya yang kehilangan makna, tapi keselamatan pasien pun ikut dipertaruhkan.
Apoteker Mulai Bersikap: Minta Turun Main
Namun angin mulai berembus. Generasi baru apoteker tak mau sekadar duduk. Mereka mulai bersuara, membentuk komunitas, membuat klinik, mendobrak sistem, dan bicara tentang peran sejati mereka.
Bukan lagi soal tuntutan hak, tapi panggilan etika. Karena apoteker tahu, kalau terus didiamkan, profesi ini akan punah secara perlahan---tersisih dalam diam, digantikan oleh sistem yang tak peduli kualitas.
Ketimpangan Sistemik: Regulasi Tak Seragam
Permasalahan tak berhenti di situ. Regulasi yang seharusnya jadi wasit justru bermain ganda. Di satu sisi, UU dan PP menyebut praktik kefarmasian harus oleh tenaga kefarmasian. Tapi pelaksanaannya? Longgar. Disinyalir banyak apotek dan klinik berjalan tanpa apoteker aktif. Banyak layanan yang sepenuhnya dijalankan oleh tenaga teknis yang tidak kompeten secara hukum untuk itu.
Ketimpangan ini bukan karena aturan tak ada, tapi karena aturan tak ditegakkan. Dan dalam ruang abu-abu itulah, apoteker kehilangan panggungnya.
Saatnya Ganti Formasi: Kolaborasi Bukan Substitusi
Pertandingan ini perlu formasi baru. Apoteker bukan cadangan. Mereka adalah pemain utama yang harus turun jika kita ingin layanan farmasi benar-benar berpihak pada pasien. Tenaga vokasi? Tetap dibutuhkan, tapi sebagai pendamping, bukan pengganti.
Kita butuh sistem yang mengembalikan apoteker ke posisi strategis: melakukan asesmen, memberikan edukasi, dan terlibat dalam pengambilan keputusan terapi. Bukan hanya mengurus stok gudang dan laporan bulanan.
Jangan Tunggu Kartu Merah
Jika dibiarkan, sistem ini akan mencetak lebih banyak gol bunuh diri. Kesalahan terapi, efek samping fatal, dan ketidaktepatan penggunaan obat hanya tinggal menunggu waktu. Dan seperti biasa, saat itu terjadi, apoteker akan diseret ke tengah lapangan---untuk disalahkan, bukan untuk menyelamatkan.
Maka, sebelum kartu merah dikibarkan, sebelum peluit panjang dibunyikan, turunlah ke lapangan. Apoteker bukan hanya nama. Kita adalah profesi yang punya jiwa, tanggung jawab, dan kompetensi. Dan profesi ini hanya akan dihormati jika kita sendiri berani mengambil tempat yang seharusnya kita isi.
"Ketika nama kami cukup untuk membuka apotek, tapi tak cukup untuk diberi ruang praktik---itulah saat profesi hanya jadi formalitas." - apt. Ilham
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI