Mohon tunggu...
Apoteker Ilham Hidayat
Apoteker Ilham Hidayat Mohon Tunggu... Apoteker/Founder Komunitas AI Farmasi - PharmaGrantha.AI/Rindukelana Senja

AI Enhanced Pharmacist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gerbong Transformasi Kesehatan : Apoteker di Kelas Eksekutif atau Kelas Ekonomi ?

15 Juni 2025   07:04 Diperbarui: 15 Juni 2025   07:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit gambar: Ilustrasi buatan AI menggunakan ChatGPT/DALL*E oleh Ilham Hidayat (dokumen pribadi)

Tangerang, Ilham Hidayat --Transformasi sistem kesehatan Indonesia sedang bergerak cepat, ibarat kereta cepat yang meluncur menuju peradaban baru. Pertanyaannya: dalam gerbong transformasi ini, profesi apoteker akan duduk di kelas eksekutif yang strategis dan dihormati, atau tetap terhimpit di kelas ekonomi, menjadi pelengkap penderita tanpa pengaruh berarti dalam pengambilan keputusan kesehatan?

Pertanyaan ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari realitas sejarah yang lama membelenggu apoteker Indonesia---profesi dengan keilmuan tinggi namun otoritas minim. Namun kini, perubahan sedang terjadi. Perlahan, benang kusut profesi ini mulai menampakkan ujung pangkalnya. Dan, percayalah, titik terang itu tidak datang secara kebetulan, tetapi dari hasil perjuangan panjang, pergesekan gagasan, dan kelahiran entitas baru yang menolak tunduk pada sistem lama.

Definisi Usang, Dilema Ontologis

Salah satu akar kekusutan mendasar dari profesi ini bersumber dari definisi ontologis apoteker yang stagnan sejak 1963. Dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun, definisi tersebut tidak mengalami pembaruan berarti yang mencerminkan dinamika zaman dan evolusi pelayanan kesehatan.

Apoteker tetap didefinisikan sebagai "tenaga profesional di bidang farmasi", tanpa kejelasan batas praktik, otoritas, dan peran strategisnya dalam sistem kesehatan. Padahal dunia sudah berubah---teknologi berkembang, sistem pelayanan makin kolaboratif, dan kebutuhan masyarakat terhadap edukasi penggunaan obat semakin tinggi. Tapi peran apoteker masih dibaca dari kamus lama.

Di sinilah letak simpul ontologisnya: kita tidak pernah serius mendefinisikan ulang apoteker sebagai entitas yang hidup dan berkembang. Kita lebih sering terjebak dalam romantisme masa lalu, tanpa berani melompat ke masa depan.

Kebangkitan di Tengah Keruwetan

UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024 menjadi fondasi hukum yang cukup progresif. Dua regulasi ini tidak hanya menyusun ulang lanskap pelayanan kesehatan di Indonesia, tetapi juga menggeser paradigma profesi kesehatan ke arah yang lebih kolaboratif, inklusif, dan terbuka terhadap pembaruan.

Salah satu dampak paling monumental adalah terbukanya sistem multi-bar dalam organisasi profesi. Kini, apoteker tak lagi wajib menjadi anggota satu-satunya organisasi profesi yang selama ini dominan. Ini bukan sekadar dinamika kelembagaan. Ini adalah pembebasan dari hegemoni tunggal, yang selama ini menyempitkan ruang demokrasi profesi dan menyumbat kanal-kanal aspirasi progresif.

Dalam lanskap baru ini, lahirlah organisasi profesi alternatif seperti Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) yang mengusung semangat reformasi. FIB tidak lahir sebagai tandingan semata, tetapi sebagai jawaban terhadap stagnasi representasi. Ia membawa napas segar, membuka ruang partisipasi, dan mendorong inovasi kolektif.

Kolegium Baru, Kesempatan Baru

Satu lagi angin segar datang dari pembentukan Kolegium Farmasi  yang kini bukan lagi milik eksklusif satu organisasi. Kolegium kini menjadi institusi kolektif yang bisa diisi oleh berbagai unsur profesional berdasarkan merit dan kapasitas, bukan sekadar loyalitas.

Kini saatnya apoteker mengambil peran strategis dalam merumuskan standar kompetensi, menyelenggarakan uji kompetensi nasional (UKOM), serta merancang jalur-jalur spesialisasi profesi yang relevan dengan tantangan kesehatan modern. Ini bukan sekadar capaian administratif---melainkan lompatan epistemik menuju kemerdekaan profesi yang sejati. 

Boleh jadi, inilah bentuk paling nyata dari "emansipasi intelektual" apoteker Indonesia.Bayangkan jika profesi apoteker dapat menyusun standar praktik mandiri di lini pelayanan primer, mendefinisikan peran klinis yang berorientasi pada pasien, hingga mengembangkan spesialisasi farmasi komunitas, farmasi geriatrik, atau farmasi nutrisi secara mandiri. Dengan kolegium baru, peluang ini nyata.

Dari Benang Kusut Menuju Cetak Biru

Tentu, kita tak bisa memungkiri bahwa sejarah panjang profesi ini penuh simpul-simpul kusut: konflik internal organisasi, ketimpangan distribusi apoteker, praktik yang direduksi menjadi "tukang jual obat", serta lemahnya representasi dalam pengambilan kebijakan strategis.

Namun, simpul itu kini mulai longgar. Para apoteker muda semakin melek regulasi, semakin berani bicara di ruang publik, dan tidak segan menyuarakan keresahan profesinya. Forum-forum diskusi seperti Teras FIB, bedah kasus farmasi, hingga edukasi publik via media sosial menjadi ruang resistensi dan rekonstruksi narasi profesi.

Yang dulu hanya berani bergumam di belakang, kini mulai bersuara lantang di depan. Yang dulu hanya menerima kebijakan, kini mulai ikut menyusun draf regulasi. Perubahan ini bukan soal jumlah, tapi soal keberanian memutus siklus bisu.

Menuju Kelas Eksekutif: Apa yang Harus Dilakukan?

Menjadi penumpang di kelas eksekutif bukan soal tempat duduk, tapi peran dalam menentukan arah perjalanan. Untuk itu, apoteker harus:

  • Berpindah dari zona nyaman ke zona pengaruh. Praktik di apotek tidak boleh lagi sekadar menjual obat, tapi menjadi pusat layanan informasi dan edukasi kesehatan berbasis bukti.
  • Menguasai isu kesehatan masyarakat. Apoteker harus bicara tentang stunting, tuberkulosis, diabetes, resistensi antibiotik, hingga telehealth.
  • Menggalang solidaritas profesi lintas generasi. Multi-bar bukan arena saling menjatuhkan, melainkan ekosistem kompetitif yang sehat.
  • Mendesain ulang sistem pengembangan profesi. SKP bukan lagi sekadar angka administratif, tetapi menjadi refleksi peningkatan kualitas diri dan kontribusi nyata.

Masa Depan Sedang Dipertaruhkan

Transformasi sistem kesehatan adalah peluang sekaligus ujian. Apoteker bisa memilih menjadi profesi yang adaptif, strategis, dan transformatif---atau tetap menjadi penumpang pasif yang ditentukan arahnya oleh pihak lain.

Apakah kita akan duduk di kelas eksekutif, ikut menyusun peta perjalanan, dan berdialog dengan kondektur perubahan?

Atau kita tetap memilih di gerbong ekonomi, nyaman tapi tak terdengar, hanya mengikuti ke mana kereta bergerak?

Gerbong sudah bergerak. Pilihan ada di tangan kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun