Tangerang, Ilham Hidayat --Transformasi sistem kesehatan Indonesia sedang bergerak cepat, ibarat kereta cepat yang meluncur menuju peradaban baru. Pertanyaannya: dalam gerbong transformasi ini, profesi apoteker akan duduk di kelas eksekutif yang strategis dan dihormati, atau tetap terhimpit di kelas ekonomi, menjadi pelengkap penderita tanpa pengaruh berarti dalam pengambilan keputusan kesehatan?
Pertanyaan ini tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari realitas sejarah yang lama membelenggu apoteker Indonesia---profesi dengan keilmuan tinggi namun otoritas minim. Namun kini, perubahan sedang terjadi. Perlahan, benang kusut profesi ini mulai menampakkan ujung pangkalnya. Dan, percayalah, titik terang itu tidak datang secara kebetulan, tetapi dari hasil perjuangan panjang, pergesekan gagasan, dan kelahiran entitas baru yang menolak tunduk pada sistem lama.
Definisi Usang, Dilema Ontologis
Salah satu akar kekusutan mendasar dari profesi ini bersumber dari definisi ontologis apoteker yang stagnan sejak 1963. Dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun, definisi tersebut tidak mengalami pembaruan berarti yang mencerminkan dinamika zaman dan evolusi pelayanan kesehatan.
Apoteker tetap didefinisikan sebagai "tenaga profesional di bidang farmasi", tanpa kejelasan batas praktik, otoritas, dan peran strategisnya dalam sistem kesehatan. Padahal dunia sudah berubah---teknologi berkembang, sistem pelayanan makin kolaboratif, dan kebutuhan masyarakat terhadap edukasi penggunaan obat semakin tinggi. Tapi peran apoteker masih dibaca dari kamus lama.
Di sinilah letak simpul ontologisnya: kita tidak pernah serius mendefinisikan ulang apoteker sebagai entitas yang hidup dan berkembang. Kita lebih sering terjebak dalam romantisme masa lalu, tanpa berani melompat ke masa depan.
Kebangkitan di Tengah Keruwetan
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 dan PP No. 28 Tahun 2024 menjadi fondasi hukum yang cukup progresif. Dua regulasi ini tidak hanya menyusun ulang lanskap pelayanan kesehatan di Indonesia, tetapi juga menggeser paradigma profesi kesehatan ke arah yang lebih kolaboratif, inklusif, dan terbuka terhadap pembaruan.
Salah satu dampak paling monumental adalah terbukanya sistem multi-bar dalam organisasi profesi. Kini, apoteker tak lagi wajib menjadi anggota satu-satunya organisasi profesi yang selama ini dominan. Ini bukan sekadar dinamika kelembagaan. Ini adalah pembebasan dari hegemoni tunggal, yang selama ini menyempitkan ruang demokrasi profesi dan menyumbat kanal-kanal aspirasi progresif.
Dalam lanskap baru ini, lahirlah organisasi profesi alternatif seperti Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) yang mengusung semangat reformasi. FIB tidak lahir sebagai tandingan semata, tetapi sebagai jawaban terhadap stagnasi representasi. Ia membawa napas segar, membuka ruang partisipasi, dan mendorong inovasi kolektif.
Kolegium Baru, Kesempatan Baru
Satu lagi angin segar datang dari pembentukan Kolegium Farmasi yang kini bukan lagi milik eksklusif satu organisasi. Kolegium kini menjadi institusi kolektif yang bisa diisi oleh berbagai unsur profesional berdasarkan merit dan kapasitas, bukan sekadar loyalitas.
Kini saatnya apoteker mengambil peran strategis dalam merumuskan standar kompetensi, menyelenggarakan uji kompetensi nasional (UKOM), serta merancang jalur-jalur spesialisasi profesi yang relevan dengan tantangan kesehatan modern. Ini bukan sekadar capaian administratif---melainkan lompatan epistemik menuju kemerdekaan profesi yang sejati.Â