Mohon tunggu...
Abror Y Prabowo
Abror Y Prabowo Mohon Tunggu... Wirausaha

Enterpreneur | Digital Marketer | Networker | Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Binatang-Binatang di Rumah Ayah

25 Maret 2025   20:21 Diperbarui: 25 Maret 2025   20:21 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tumbuh di rumah yang tak mengenal cahaya. Bukan karena lampu-lampunya padam ataupun jendela yang tak pernah terbuka, melainkan bayangan ayah yang kerap menelanku mentah-mentah.

Di rumah ini ia adalah raja. Istana yang hanya dihuni oleh dirinya, mungkin bersama seekor iblis dan beberapa peri tak kasatmata. Sebab pada malam-malam tertentu, aku sering mendengar teriakan ayah. Kadang ia bernyanyi sembari menari dalam gerakan-gerakan aneh. Dan selalu saja, ekor matanya bisa menangkap meskipun aku bersembunyi.

"Kau mengintip rupanya. Kemari kau, anak setan!"

Suaranya buas. Matanya merah. Dalam sekejap ia melompat. Mendengus seakan ingin melumatku. Sekujur tubuhku gemetar. Bahkan tanpa sadar aku mengompol karena rasa takut tak tertahankan. Melihat kejadian itu ayah malah kegirangan. Ia tertawa seraya tak berhenti menghujaniku makian. "Mau jadi apa kau? Sudah besar masih juga ngompol. Dasar pengecut!"

"Maafkan aku, Ayah."

"Kau hanyalah tikus tak berguna. Pantas saja kau biarkan ibumu diperkosa tanpa berbuat sesuatu untuk membelanya." Ayah menggeram. Kakinya menghentak-hentak lantai. Beberapa pukulan bersarang di dinding membuat nyaliku semakin kerdil. "Lebih baik kau mati sebagai laki-laki demi membela ibumu daripada hidup tapi menyusahkan diri sendiri."

Aku semakin tenggelam dalam sumpah serapah ayah. Wajahnya bengis. Kedua kelopak matanya menghitam seakan lubang petaka tak berdasar. Aku tak berani menatapnya. Sekali saja melihat ke dalamnya, seketika aku terkulai lemas seolah nyawa terlepas.

***

Ibuku mungkin hanya seekor anjing betina. Namun ia tetaplah bunga mekar yang diimpikan serangga. Bahkan ketika ibu telah dipersunting ayah hingga melahirkan aku, serangga dan binatang-binatang lainnya masih saja mengendus wangi selangkangannya.

Aku tak pernah tahu apa yang dikerjakan ibu setiap kali ayah pergi. Pada fajar sebelum matahari menampakkan diri ayah sudah pergi. Aku tak pernah melihatnya terlalu lama di rumah. Siang hari pekerjaannya hanyalah mengasah parang dan belati. Lalu pergi selama beberapa hari. Lantas saat terbangun di pagi hari, aku mendapati diriku telah berada di dalam kamar tidur sendiri. Sedangkan di kamar di mana sebelumnya aku tertidur bersama ibu, ayah telah mendengkur.

Aku mengintip dari balik pintu. Dengkuran ayah serupa lenguh kerbau sekarat. Kedua tangannya selalu berlumuran sesuatu. Mungkin bekas darahnya sendiri atau darah sesosok bayangan yang telah dibantainya dalam mimpi. Aku segera menjauh saat napasnya tersedak dan tubuhnya bergerak.

Sementara di luar, di bawah bayangan pohon kluwih aku melihat ibu menggosok tubuhnya yang berkilat di bawah sinar matahari yang menerobos dedaunan. Ah, tubuh itu tentu telah habis dilumat ayah semalam.

Aku menatapnya. Apakah tubuh itu pula yang tak henti dimangsa binatang-binatang menjijikkan setiap kali ayah pergi? Aku membayangkan ibu menari dalam keremangan. Sementara di sekelilingnya binatang-binatang mendesis bersama rintihan dan erangan-erangan mendebarkan yang tak pernah bisa kulihat. Selanjutnya mereka mengendap keluar dari kamar ibu. Mereka membersihkan sisa liur di mulut masing-masing dan menyelipkan beberapa lembaran uang di sela dada ibu yang mengkal.

"Malam ini kau akan pergi lagi, sayang?" Ibu mengantar secangkir kopi dan sedikit makanan kepada ayah yang telah terbangun dari tidur. Ayah mengangguk. Ibu tersenyum kecil. Dalam keadaan begini aku selalu tak pernah berani mengganggu. Ibuku sering menjewer tatkala aku mencoba lebih dekat dengan ayah.

Sebagai seorang bocah tentu aku ingin bergelayut manja di pangkuan atau bergelantungan di bahu. Tapi sejak lahir, aku tak pernah merasakannya. Jangankan bermanja-manja, melihatku saja ayah sudah melotot seraya menghardik. Persis menghardik seekor anjing agar tak mencuri makanannya.

Dan siang ini kembali aku mendengar gesekan bilah besi. Aku bisa menebak malam nanti ayah akan pergi. Apa sebenarnya yang dikerjakan ayah? Aku tak pernah tahu, mungkin juga ibuku. Ia hanya menerima kedatangannya dan akan kembali pergi dalam jangka waktu cukup lama sebelum akhirnya mendengkur lagi seperti biasa.

"Malam nanti kau tidur di kamarmu sendiri," bisik ibu pada suatu malam setelah ayah pergi. "Tapi kau boleh tidur dulu di sini, nanti ibu akan pindahkan. Ibu ada tamu."

Kuterka, tamu yang dimaksud ibu adalah binatang-binatang menjijikkan itu. Entahlah, mereka selalu tahu kapan waktu ayah pergi dan kapan ayah akan kembali. Seorang bocah lelaki sepertiku memang belum cukup tahu apa yang dikerjakan orang tua. Ibu membelai keningku seraya meniup-niupkan angin dari bibirnya yang rekah. Aku mencium aroma wangi bunga di tubuhnya. Membuatku ingin sekali mencecap puting dan tenggelam di dadanya, tapi ibu melarang. Terpaksa aku menyeret rasa kecewa dalam tidur.

Dan benar saja, saat aku berada di ujung lelap, terdengar suara pintu dipukul keras. Aku terjaga. Kulihat ibu tak ada. Tapi di luar kamar aku mendengar suara-suara rintihan, lenguhan dan erangan menjijikkan. Aku mengumpulkan keberanian untuk merayap keluar. Di ruang tempat biasa ayah menghirup kopi, binatang-binatang itu tengah memangsa ibu yang menggelinjang seakan menari.

"Cepat selesaikan sebelum Barjo pulang."

"Mabukku terlalu banyak. Sialan!"

"Lekaslah, sebelum suamiku pulang dan anakku juga terbangun gara-gara suara berisik kalian."

"Biar saja anakmu melihat. Dia tidak akan paham dengan apa yang terjadi."

Aku terduduk bersandar di dinding menyaksikan seluruh kejadian dengan mata telanjang. Tubuhku gemetar. Dada berdebar. Apa yang sesungguhnya sedang mereka lakukan? Cahaya ruangan yang tak sepenuhnya gelap membuat ibu menyadari kehadiranku.

"Anakku terbangun. Hentikan!"

"Biarkan saja. Sudah kepalang tanggung."

Salah seorang dari mereka menghampiri. Tangannya mencengkeram tubuhku dan menekannya ke dinding. Ia mendengus. Aroma busuk menguar dari mulutnya.

"Kau boleh melihat tapi jangan berteriak, anak manis!"

"Jangan kau apa-apakan anakku!"

Lelaki gelap berambut keriting dengan dada dipenuhi bulu serupa celeng besar terkekeh.

"Aku hanya bercanda dengannya."

Tubuhku semakin gemetar. Tanpa disadari ada cairan tiba-tiba merembes. Lelaki serupa celeng itu semakin terkekeh.

"Lihat, anakmu ngompol, Aryati."

Seluruh tubuhku seketika lunglai. Tulang-belulang seperti tak berguna menopangku berdiri. Aku hanya meringkuk. Memeluk kedua lutut dan tanpa sadar kugigiti sendiri lututku hingga berdarah.

Dalam keremangan tiba-tiba aku melihat pintu terbuka. Sesosok tubuh besar berdiri tepat di bawah ambang pintu. Dari bentuk tubuhnya aku sudah bisa menduga, ayah tiba.

"Binatang!"

Suaranya menggelegar bagai singa. Mereka serentak berhamburan menjauhi tubuh ibuku. Secepat cahaya yang melesat ayah melompat. Parang ditangannya berkelebat. Menebas leher binatang-binatang menjijikkan itu. Nyaris tak ada perlawanan berarti. Setelah semua terkapar, tersisa satu orang yang beringsut mundur. Tatapannya menciut sembari memegangi lehernya yang berdarah.

"Barjo. Ampun, Barjo. Istrimu yang mengundang kemari. Dia yang mengundang kami ke rumahmu."

"Tidak, sayang! Mereka memperkosaku setiap kali kau pergi!"

Laki-laki berambut keriting dengan dada dipenuhi bulu serupa celeng besar itu meratap di bawah bayang-bayang kaki ayah. Dalam keremangan, aku melihat wajah ayah menyeringai begitu bengis serupa iblis.

"Biadab!"

Selanjutnya darah muncrat. Celeng besar itu kelojotan menyusul binatang-binatang lain yang telah lebih dulu terkapar. Parang di tangan ayah tak berhenti meneteskan darah.

Aku menelungkupkan wajah. Mulutku tak mampu bersuara. Ada sesuatu yang seolah-olah menyumbat kerongkongan begitu saja. Aku menggigil. Dan entah, aku tak melihat bagaimana kejadiannya, ternyata ibu juga telah tergeletak. Mulut dan matanya terbuka. Darah mengalir. Kulihat kakinya berkedut sesaat sebelum akhirnya diam.

Ayah merendahkan tubuhnya. Mengangkat tubuhku yang ringkih dengan tangannya. Rasa takut dan bahagia menyatu begitu rupa. Baru kali ini aku digendong ayah. Aku tenggelam di dadanya yang basah. Masih kudengar sisa napas memburu dan degup jantungnya berpacu.

***

Di rumah ini, ayah adalah raja dari istana yang hanya dihuni oleh dirinya, mungkin bersama iblis dan beberapa peri tak kasatmata. Sementara aku hanyalah penyusup yang kebetulan lahir dari setetes darahnya.

Aku tak pernah memberontak meskipun di usiaku sekarang ayah masih saja membentak, menghujani makian dan sumpah serapah. Aku tetap diam tapi tak lagi gemetar. Meskipun dada masih sering berdebar tapi bukan berarti takut. Aku lebih mengkhawatirkan tubuhnya yang telah rapuh.

Ayah masih sering bernyanyi sembari menarikan gerakan-gerakan aneh. Melompat kadang berjingkat seperti tupai. Lalu melata menyusuri lantai. Berteriak menyebut nama ibu seraya memaki binatang-binatang menjijikkan itu.

Suatu hari, ayah memanggilku. Gelegar teriakannya sama sekali tak berkurang meskipun kini tubuhnya telah renta dan aku telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa.

Aku bergegas menghampirinya. Ia menatapku dengan pandangan seekor elang tua. Tangannya bergetar. Tubuhnya tersandar di kursi yang tak kalah renta dari dirinya. Sebilah parang yang dulu selalu diasahnya tergeletak di dada. Entah sudah berapa tubuh dibuatnya kehilangan nyawa, termasuk ibuku. Tangan kanannya berusaha menggapaiku, sedangkan tangan kiri masih memeluk parang yang tertidur dalam sarungnya.

"Kau tahu, parang ini tak seberapa tajam dibandingkan lidah dan pikiran."

"Ayah ..."

"Dengan keadaanmu sekarang, jadilah dirimu sendiri. Gunakan kepalamu, jangan cuma tanganmu."

Aku tercekat. Baru kali ini aku mendengar lembut kalimat ayah. Sejak kepergianku sekian tahun lalu ke kota dan hidup dengan cara berbeda, aku melihat dunia dalam cahaya beraneka warna. Aku menatapnya tanpa kata. Orang tua itu mendesah. Matanya menembus langit-langit.

"Satu hal yang perlu kau tahu, kekejian hanya akan melahirkan kekejian baru. Aku sudah memaafkan ibumu, tapi belum bisa memaafkan diriku."

Gerimis jatuh di matanya. Istana yang dulu kokoh perlahan runtuh. Baru kali ini aku melihatnya sebagai manusia. Aku berdiri, tak lagi menghindari sorot matanya.

"Aku tidak membencimu, Ayah. Tidak juga membenci Ibu."

Luka-luka akan tetap ada. Mengendap di sudut hati seperti bara yang kadang redup, kadang menyala. Tapi aku ingin membawanya bukan sebagai kutukan, melainkan cahaya.

Ia menatapku lama lalu mengangguk pelan. Tak ada permintaan maaf. Tak ada pelukan. Tapi untuk pertama kalinya aku dan dirinya bisa saling memahami bahasa cinta, antara anak lelaki dan ayahnya.

Yogyakarta, 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun