Gerimis jatuh di matanya. Istana yang dulu kokoh perlahan runtuh. Baru kali ini aku melihatnya sebagai manusia. Aku berdiri, tak lagi menghindari sorot matanya.
"Aku tidak membencimu, Ayah. Tidak juga membenci Ibu."
Luka-luka akan tetap ada. Mengendap di sudut hati seperti bara yang kadang redup, kadang menyala. Tapi aku ingin membawanya bukan sebagai kutukan, melainkan cahaya.
Ia menatapku lama lalu mengangguk pelan. Tak ada permintaan maaf. Tak ada pelukan. Tapi untuk pertama kalinya aku dan dirinya bisa saling memahami bahasa cinta, antara anak lelaki dan ayahnya.
Yogyakarta, 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI